Sabtu, 03 Maret 2018

Gosip

"Is, Ibumu tidak pernah kamu kasih uang, ya?" cerocos Tante Narti begitu masuk rumah.

Aku masih loading, belum mengerti apa yang dibicarakan.

"Kamu itu sebagai anak sulung, harusnya paham kebutuhan orang tua. Kasih kek tiap bulan rutin berapa. Biar mereka senang"

Masih bengong.

"Itu mungkin yang bikin Ibumu sakit tak sembuh-sembuh, gara-gara kepikiran punya anak yang nggak berbakti kayak kamu"

Deg! Apa-apaan ini?

Sebulan ini ibu memang sakit. Lemes, seperti tidak ada tenaga. Dokter bilang gula darahnya tinggi. Obat sudah rutin diminum, tapi belum ada tanda-tanda akan pulih. Sudah coba cari second opinion dari dokter spesialis lain, hasilnya tetap sama.

Dan Tante bilang, itu karena aku?

"Kenapa Tante berkesimpulan seperti itu? Sekejam itukah aku menurut Tante?"

"Mbak Lastri memang tidak pernah cerita ke Tante. Tapi kata Bu Mus, Ibumu pernah bilang ke dia kalau takut minta uang ke kamu?"

Bu Mus? Seingatku Ibu tak pernah main-main ke rumah tukang gosip itu.

"Lalu, Tante percaya begitu saja sama Bu Mus? Dan menuduh yang tidak-tidak ke keponakan sendiri?"

"Lha terus, apa coba yang bikin sakit Ibumu tak sembuh-sembuh kalau bukan karena pikiran?"

"Tante tanya langsung saja deh ke Ibu, benar tidak yang Tante tuduhkan. Benar tidak aku setega itu sama orangtua, jangan ke orang lain yang tidak tau apa-apa."

"Mana mungkin Ibumu cerita ... sejelek-jeleknya kamu, pasti dia lindungi"

Kuping ini rasanya seperti terbakar. Panas. Setan di sebelah kiriku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangan. Kalau tidak ingat dia saudara kandung Ibu ... huufff.

Iya, Tante Narti adalah adik perempuan Ibu. Rumahnya tepat di sebelah rumah kami. Orangnya memang sedikit cerewet. Suka ikut campur urusan orang. Ditambah lagi, sukanya nongkrong sama Bu Mus, yang tidak tau kenapa, selalu ada saja bahan gosipnya.

Biasanya tak pernah kudengarkan kata-kata Tante yang memang sering di luar batas kewajaran. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tapi kali ini perkataannya betul-betul menyakitkan.

Setelah Ayah pensiun, aku yang menjadi tulang punggung keluarga. Termasuk membiayai adik bungsu, yang saat ini kuliah di Kedokteran. Kerja apa saja aku lakukan agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Yang penting halal. Kebutuhanku kunomor-sekiankan, yang penting orang tua dan adik tidak kekurangan. Termasuk menikah. Dengan rela kutunda, setidaknya sampai adik lulus kuliah.

Dan tiba-tiba saja, ada yang bicara seperti itu? Bagaimana aku tidak meradang?

"Apa aku harus bikin catatan pengeluaran harian, biar Tante tau kemana uang gajiku aku habiskan?" ucapku semakin jengkel.

"Kalau memang tidak seperti itu ya alhamdulillah ... Tak usah marah begitu juga kali. Tante kan hanya mengingatkan" ucapnya tanpa dosa.

Aku semakin geram.

"Tante, kalau boleh kasih saran ya, jangan terlalu banyak bergaul dengan Bu Mus ... orang sekampung juga tau siapa dia. Jangan sampai Tante ikut-ikutan kena cap tukang gosip oleh masyarakat"

"Bu Mus itu orangnya asyik, tidak kayak kamu tukang marah"

"Tante pulang dulu deh, mau angkat jemuran."

"Tante aku belum selesai bicara ...!"

Dia ngeloyor pergi, tidak
peduli. Meninggalku dengan hati yang masih membara.

Kucoba menenangkan diri. Baper kepanjangan pun percuma. Rugi sendiri. Memang seperti itu sifatnya Tante. Mungkin itu caranya menunjukkan perhatian. Meski dengan cara yang agak berbeda. Aku saja yang harus pinter-pinter menjaga hati.

Kalau dipikir dengan hati yang sedikit jernih, mungkin ada benarnya juga perkataan Tante. Bisa jadi ini teguran  buatku. Tanpa sadar masih hitung-hitungan sama orangtua. Belum ikhlas sepenuhnya.  Buktinya masih marah, saat ada yang mengungkitnya.

Kubaca istighfar berkali-kali. Ambil nafas panjang dan hempaskan. Lalu kubuka kotak pintar, searching online shop langganan. Cuci mata lihat gamis-gamis cantik. Biar hati sedikit lebih adem.

Lihat-lihat doang sih, belinya nanti, kalau celengan ayamku sudah menetas.

*******
Hanya fiksi. Maaf jika terkesan seperti curhatan. Kritik dan saran sangat diharapkan.

NGK, 20180303

Tidak ada komentar:

Posting Komentar