Kutatap pria di hadapanku. Masih sama seperti saat terakhir bertemu, 10 tahun yang lalu. Badannya memang terlihat lebih tegap dan berisi, tapi wajah itu masih sama, wajah bayi yang sering membuat gemas untuk mencubit. Rambut ikalnya tampak lebih rapi dengan potongan cepaknya. Kulitnya masih sama, meski sekarang tampak lebih pucat. Dan senyum di bibirnya, masih teduh dan membuat hati ini berdebar.
Dia adalah Galih, cinta pertamaku. Kakak kelas di SMA. Kami pertama kali bertemu saat MOS, Masa Orientasi Siswa.
Galih adalah petugas PMR yang merawatku saat aku pingsan pada upacara penutupan MOS. Waktu itu cuaca cukup panas. Matahari seakan tepat di atas kepala. Aku memang memiliki fisik yang lemah. Memulai aktivitas dari ba'da subuh dan diakhiri upacara tengah hari membuatku tak sanggup bertahan. Hingga aku pun tak sadarkan diri.
Begitu sadar aku sudah di ruangan yang khas dengan bau alkoholnya. Di UKS. Saat membuka mata aku agak terkesima. Kalau tidak melihat dia pakai celana panjang, pasti aku sudah mengira dia perempuan. Cantik. Bulu matanya yang lentik, bibirnya yang penuh dan kemerahan kontras dengan kulitnya yang putih bersih tak berjerawat.
"Alhamdulillah sudah sadar," ucapnya saat itu. Suaranya tegas, tidak sesuai dengan penampakannya yang terlihat feminim.
"Gimana kondisimu, Dek? Masih pusing?"
"Ti ... tidak, Kak." Aku hendak bangkit dari tempat tidur. Tapi dia menahan.
"Kamu istirahat dulu saja di sini. Berani sendiri, kan?"
Aku mengangguk.
"Aku akan kembali ke lapangan upacara dulu, berjaga lagi"
"I ... iya, Kak"
Aku mengikuti langkahnya yang berlalu meninggalkanku di ruang 3x4 ini. Dia cukup tinggi. Kalau aku di sampingnya, mungkin hanya sebahunya. Cara berjalannya tegap. Sekali lagi tak terkesan seperti banci.
Dan tak tau mengapa, ada getaran halus mulai menyusup di dada.
Sejak saat itu aku selalu memperhatikannya. Diam-diam. Dari teman, aku tau namanya. Waktu itu sosial media belum seperti sekarang. Hingga agak susah mencari tau sesuatu tentang dia. Setidaknya dari hasil stalking, aku tau kelasnya, hapal teman-temannya, hapal jam dia datang ke sekolah, makanan kesukaannya saat ke kantin pun tak luput dari perhatianku. Bahkan pernah suatu kali aku mengikutinya diam-diam saat dia pulang sekolah karena ingin tau di mana rumahnya.
Sering kami berpapasan di koridor sekolah. Jangankan menyapa, bahkan menatap langsung wajahnya aku tak sanggup. Hatiku berdegup kencang. Kadang sampai takut kalau- kalau jantungku terloncat keluar. Saat sudah agak jauh, baru aku berani menoleh menatap punggungnya. Tak jarang dia pun melakukan yang sama. Dan itu saat-saat yang selalu kunantikan. Karena dia akan tersenyum manis padaku, senyum yang sampai kapan pun akan selalu kuingat.
Sampai dia lulus, hanya sebatas itu hubungan kami. Tidak ada yang berani memulai. Perasaanya ke aku pun belum pasti. Tersenyum setiap bertemu tidak lantas menunjukkan kalau dia ada hati padaku.
Aku juga cukup tau diri. Apalah diri ini. Dari segi apapun tidak ada yang bisa di tonjolkan. Wajah biasa. Prestasi juga menengah ke bawah. Serba biasa. Sementara Galih? Memang dia tak seperti Riko si jago basket yang sering dielu-elukan teman-teman cewek, atau Arda yang selalu jadi pusat perhatian karena wajahnya yang bak artis ibukota. Tapi ah ... tetap aku merasa tak layak untuknya.
Setelah lulus, dia melanjutkan kuliah kedokteran di salah satu universitas negeri di Semarang. Sesuai dugaan. Kesenangannya membantu sesama, keaktifannya di PMR, tak mengherankan kalau dia mengambil jurusan itu.
Keluarganya pun pindah. Tak tau pindah kemana. Semenjak itu, aku tidak pernah lagi mendengar kabar beritanya.
Selepas dia pergi, hatiku terasa kosong, sepi. Seperti ada yang tercabut. Semangat belajar pun menurun. Hingga beberapa kali mendapat teguran dari wali kelas, karena nilai semakin jeblok. Untung aku punya sahabat baik yang selalu menyemangati, Nia. Dialah yang menyadarkan diri ini, untuk tak berlarut-larut dalam kesedihan.
"Kalau kamu ingin bertemu lagi dengan Galih, kamu harus jadi orang sukses, Vira. Percuma bertemu, kalau akhirnya hanya jadi bayang-bayang saja. Kamu harus sejajar, biar bisa bersanding dengannya."
Kata-kata Nia begitu membekas. Aku mulai menata hidup. Belajar keras menyusul ketertinggalan. Hingga peringkat di sekolah pun mulai merangkak naik. Puncaknya aku memperoleh NEM tertinggi se-kabupaten saat ujian akhir.
Dengan bekal itu, aku memberanikan diri mendaftar di Kedokteran. Tapi takdir belum berpihak. Aku memang diterima di kedokteran. Bukan di kota yang sama dengan Galih menimba ilmu, tapi di Surabaya.
********
Kesibukan kuliah dan hadirnya teman-teman baru tak sedikit pun membuatku melupakannya. Senyum manisnya selalu menghantui, terutama saat sendiri. Banyak organisasi kuikuti, demi untuk mengusir kerinduan yang menyayat hati.
Hingga hari ini, setelah satu dekade berlalu, tanpa sengaja takdir kembali mempertemukan kami.
Tiga orang laki-laki tampak menggotong seseorang memasuki UGD tempat aku sedang bertugas.
"Kenapa ini, Pak"
"Tabrak lari, Dok"
Segera kuminta pasien dibaringkan di bed yang kosong. Pasien tidak sadarkan diri. Tubuhnya penuh luka. Tampak luka robek yang cukup lebar di kepalanya. Darah menutupi sebagian besar wajahnya.
"Bagaimana Dok? Apa masih bisa diselamatkan?" tanya salah satu lelaki pengantar yang paling tua diantara mereka.
Kuperiksa nadinya, tak teraba. Napas tak berhembus. Kuarahkan stetoskop ke dada kirinya, tak terdengar detaknya. Nadi besar di lehernya pun sama. Sudah berhenti mengalunkan iramanya. Kuambil senter untuk melihat pupilnya, barangkali masih ada tanda-tanda kehidupan di sana. Nihil.
Dan saat itulah aku menyadari sesuatu saat melihat bibir dari pria yang sudah tak bergerak itu.
Orang yang terbaring di depanku ini adalah Galih. Iya, Dia Galihku. Orang yang begitu sangat kurindukan. Yang kepadanya ingin kukatakan, aku sudah jadi dokter sekarang, dan cukup percaya diri seandainya bertemu lagi dengannya. Percaya diri untuk mengungkapkan perasaan yang lama terpendam. Cukup percaya diri pula menerima, seandainya dia tidak merasakan rindu yang sama, atau dia sudah menikah dengan yang lain.
Sudah kusiapkan diri menerima segala kemungkinan. Dari yang indah sampai yang terpahit sekali pun. Namun sungguh, aku tak pernah menyiapkan diri untuk pertemuan setragis ini. Bertemu saat dia jangankan mengingatku, melihatku pun tak bisa. Galihku pergi untuk selamanya. Pergi dengan senyum tersungging di bibir. Meninggalkanku dengan kiamatku.
END
********
Maaf sudah lupa rasanya cinta-cintaan zaman SMA. Jadi sedikit bingung menggambarkannnya. Mohon saran dan masukannya.
NGK, 08032018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar