Tidak seperti biasa, jalanan ini tampak sepi. Hanya sesekali terlihat kendaraan berlalu. Mungkin karena malam sudah sangat larut dan hujan yang mengguyur sejak sore tadi membuat orang lebih memilih bersembunyi di bawah selimut.
Demikian pula diriku kalau saja tidak ada teman yang meminta tolong menggantikan shiftnya sejam. Dia harus mengantarkan ibunya ke dokter. Kuiyakan saja. Toh jomblo sepertiku tak punya kewajiban pulang tepat waktu.
Aku menaikkan kecepatan sepeda motor. Namun entah mengapa, bukannya tambah cepat, lajunya malah semakin melambat. Seperti ada beban berat di belakang. Ah ... mungkin hanya perasaan saja. Tak ada apa-apa di sana.
Dan benar saja, tak berapa lama motor oleng. Aku injak rem kuat-kuat. Alhamdulillah berhenti dan tak terjatuh. Kuperiksa bannya. Ah ... sial. Ban belakang bocor.
Dengan terpaksa aku menuntun motor menembus kegelapan malam dan dinginnya hujan. Sedikit lega, karena seingatku sekitar 1 kilometer dari tempat ini ada bengkel. Mudah-mudahan masih buka.
"Tinn ... tinn!"
Suara klakson motor mengagetkan. Aku menoleh ke belakang. Berharap dapat pertolongan atau paling tidak teman seperjalanan. Tapi?
Pengendara itu hanya menoleh sekilas kemudian malah menambah kecepatan laju motornya. Aish.
Kembali kurasakan motor memberat. Bahkan saat melewati jalanan yang menurun, beratnya tidak berkurang. Hawa di belakang punggungku terasa berbeda. Lebih dingin. Ada aura yang tak biasa. Bulu kuduk pun meremang.
Aku semakin mempercepat langkah. Samar-samar ada cahaya di depan. Sudah dekat rumah penduduk rupanya. Lega. Dan seingatku rumah yang paling unjung adalah bengkel sepeda motor.
Sampailah di bengkel tersebut. Tampak seseorang di depan. Alhamdulillah masih buka berarti.
"Pak, bisa tambal motor?"
Orang itu hanya menggangguk.
Dia memeriksa bebek hijauku sejenak lalu mempersiapkan alat kerjanya. Sejurus kemudian motorku pun mulai diotak-atik.
Laki-laki setengah baya itu bekerja tanpa suara. Tanpa ekspresi juga. Kucoba memancing dengan beberapa pertanyaan. Tapi responnya cuma menggeleng, mengangguk kadang mendengus. Ah ... mungkin memang laki-laki berkumis lebat itu tak suka bercakap.
Akhirnya untuk membunuh waktu kukeluarkan ponsel. Membuka medsos, barangkali masih ada teman yang aktif. Sepi. Sudah pada tidur barangkali. Iseng-iseng kupotret motor yang sedang diperbaiki. Buat barang bukti nanti kalau orang rumah ada yang nanya. (Kalau ada ...:-D)
Setengah jam kemudian motor selesai. Aku menanyakan ongkosnya, tapi dijawab dengan menggeleng. Kucoba meraih tangannya, memaksa memberikan sedikit uang jasa. Tapi kalah cepat. Pria seumuran bapak itu masuk rumah dan sedetik kemudian terdengar suara pintu dikunci dari dalam.
Orang yang aneh.
Dengan penuh keheranan aku menyalakan motor dan pergi. Sudah lewat tengah malam. Rasa ngantuk mulai menyerang dan dingin yang tembus sampai ke tulang membuat ingin secepatnya sampai di rumah. Biarlah nanti kapan-kapan kalau lewat sini lagi kuberikan uang atau yang lainnya sebagai balas jasa.
***
Dua hari kemudian, ban motorku kembali berulah. Bocor lagi. Mungkin memang sudah waktunya minta ganti. Untung kali ini kejadiannya siang bolong. Tak terbayangkan kalau harus mengulang seperti malam sebelumnya. Sakit kepala dan flu berat akibat hujan-hujanan yang lalu saja masih terasa sampai sekarang.
Lokasinya pun hanya beberapa meter dari bengkel yang dua hari lalu aku singgahi. Syukurlah, aku bisa memberikan upahnya sekaligus.
Bengkel tampak sepi. Tak ada orang. Kuketuk pintu siapa tahu orangnya di dalam. Tiada jawaban.
"Pak, yang punya bengkel kemana, ya?" tanyaku kepada seorang warga yang kebetulan lewat.
Dia menoleh, lalu menghampiriku.
"Bengkelnya sudah seminggu lebih tutup, Mas. Pak Jono pemilik bengkel meninggal 9 hari yang lalu."
Lha?
"Masa sih, Pak? Dua malam yang lau saya barusan menambalkan motor saya di sini," ujarku tak percaya.
"Masnya salah ingat kali ... Dua malam yang lalu, 7 harinya Pak Jono. Wong saya juga diundang selametan, kok."
Benarkah?
Aku yakin di sinilah tempatnya. Sepanjang jalan dari kantor ke rumah hanya ada dua bengkel. Yang satu jaraknya hanya beberapa meter dari rumah dan yang satunya bengkel ini.
"Di sini kok, Pak. Saya yakin 99% dua malam yang lalu saya menambal ban di bengkel ini."
"Terus siapa yang menambal motornya, Mas? Wong rumah ini kosong sejak Pak Jono meninggal. Istrinya memilih ikut anaknya yang tinggal tak jauh dari sini. Itu rumahnya yang cat ijo," ucapnya sambil menunjuk rumah yang berjarak 100 meteran dari bengkel.
"Pegawainya barangkali, Pak?" eyelku.
"Pak Jono nggak punya pegawai, Mas ... anaknya juga nggak ada yang laki-laki."
Terus siapa yang kemarin berbaik hati menambal ban motorku?
Aku mengingat sesuatu. Kemarin saat iseng-iseng motret motor, beberapa kali tukang penambal ban yang sekarang kuketahui bernama Pak Jono, ikut tertangkap kamera.
Nah ... berguna juga rupanya.
Kukeluarkan ponsel. Jari ini langsung menuju ke galeri, mencari foto yang kumaksud.
Ketemu. Tapi? Zonk.
Hanya ada foto motor di sana. Tak ada gambar Pak Jono sama sekali. Alat-alat yang kemarin dia gunakan tampak melayang di potret yang kuambil.
Aku bergidik, membayangkan siapa yang membantuku kemarin. Keringat dingin tiba-tiba keluar, membasahi seluruh tubuh.
Kalau tak malu sama bapak yang di depanku, pasti aku sudah balik badan dan kabur.
"Oh ... iya, Pak. Barangkali saya memang salah tempat," ucapku sekuat mungkin menahan rasa takut. Aku tak ingin membuat kehebohan di tempat ini.
"Permisi dulu, ya Pak. Mau mencari bengkel yang lain."
Sebelum sempat membalikkan badan, pria berbadan kurus tinggi itu menahanku.
"Sebentar ... Mas ini yang menuntun motor pas hujan-hujan itu, ya?" tanyanya seraya mengamatiku.
"Kok tahu, Pak?"
"Saya yang waktu itu menglakson, Mas. Maaf ya, Bapak tidak berhenti ... takut."
"Takut kenapa, Pak?"
"Bapak melihat seseorang berpakaian serba putih, berambut panjang selutut dengan wajahnya penuh darah duduk di boncengan, Mas. Serem sekali," ucapnya. Rasa takut masih tampak tergambar jelas di wajahnya.
"Bapak jangan nakut-nakutin, dong. Malam itu saya cuma sendirian, tidak sedang membonceng siapa-siapa."
"Beneran, Mas. Buat apa Bapak bohong."
Nampak kejujuran di mata bapak tua itu.
Astaga.
Berarti malam itu ada dua hantu yang mencoba berkenalan dan aku tidak menyadarinya? Untunglah. Karena kalau sadar, mungkin aku baru sampai rumah besok paginya, karena pingsan semalaman di jalan.
Nasib high quality jomblo, bukan cuma cewek yang ngejar, hantu pun 'ngintil' juga.
"Jadi merinding ini, Pak. Kalau gitu saya pergi dulu, takut ada yang numpang di boncengan lagi. Assalamu'alaikum."
Cepat-cepat aku memutar sepeda motor dan menuntunnya setengah berlari, meninggalkan tempat itu. Aku takut, semakin banyak hantu yang tersepona oleh kegantenganku. (Waham kebesaran mode on) ^_^
END
¤¤¤¤
Berniat belajar menulis cerita horor, tapi susah membangun feel horornya.
Mohon kritik dan masukkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar