Senin, 05 Maret 2018

Kasur Keberuntungan

"Bang, kasur ini dibuang saja, ya? Bau"

"Hei, kasurnya masih empuk, masih bagus, Neng. Sayang kalau dibuang"

"Apanya yang bagus, Bang? Sudah sobek-sobek begitu"

"Abang bilang jangan, nanti Abang perbaiki"

Kalau suami sudah bilang seperti itu, aku hanya bisa terdiam. Bukannya manja. Tapi menurutku, kasur yang biasa kami gunakan untuk istirahat di warung ini memang sudah tidak layak pakai. Kainnya sudah compang-camping dan rapuh. Sobek-sobek pada kain pelapisnya membuat debu mudah masuk sampai ke spon-sponnya, sehingga susah dibersihkan. Sebenarnya bisa disiasati dengan sering-sering mengganti seprei. Tapi suami tak suka pakai seprei. Katanya panas. Bau debu dan keringat menciptakan aroma tersendiri, yang kadang bikin perut sedikit mual.

Sebenarnya bukan masalah suami tak ada uang. Hasil warung nasi pecel kami cukup lumayan. Sangat mudah menyisihkan sedikit uang untuk membeli kasur yang baru. Tapi suami tetap bersikeras tidak mau menggantinya.

Kasur itu adalah hadiah dari mertua, saat kami mulai meyewa ruko tempat berjualan ini. Sudah demikian keadaannya saat pertama dikasih. Dalam hati sebenarnya agak keberatan menerima. Tabunganku masih cukup kalau hanya untuk membeli kasur yang sederhana. Lagian tanpa kasur pun tak apa. Kami di ruko cuma siang hari, malam hari pulang ke rumah. Jadi tidak terlalu bermanfaat juga. Andai mau istirahat atau menginap, bisa pakai tikar biasa.

Tapi untuk menghargai mertua, aku cuma diam.

"Ini tuh kasur keberuntungan. Ada doa ibu di sana"

"Bukan kasurnya, Bang yang bawa keberuntungan. Tapi do'a Ibunya. Biar tanpa kasur itu lho, do'a Ibu tetap manjur. Lagian bergantung pada benda, bisa jadi jatuhnya ke syirik lho, Bang"

"Abang tak mau ganti pokoknya. Lagian jangan sampai kita bertengkar hanya gara-gara kasur. Tidak lucu"

Aku lagi-lagi mengalah.

********
Beberapa hari ini warungku bau kotoran tikus. Sumbernya apalagi, kalau bukan dari kasur kesayangan Bang Lukman, suamiku. Sudah dibersihkan dan dijemur, tapi baunya tetap nempel. Aku kembali merajuk.

"Bang, diganti saja ya? Bau! Tak enak sama pelanggan."

"Bukan salah kasurnya, kamu saja yang kurang bener bersihinnya"

"Neng capek, Bang. Tidak punya cukup waktu bersih-bersih. Kan Abang tau sendiri, pelanggan datang tak berhenti-berhentinya"

"Lagian tak enak, Bang kalau baunya sampai tercium pembeli. Mau bilang apa mereka, warung makan kok bau kotoran tikus, jorok" lanjutku sebal.

Bang Lukman menghela napas.

"Kalau tidak mau membelikan juga tak apa-apa. Tiduran di lantai Eneng juga tak keberatan"

Bang Lukman tampak berpikir.

"Baiklah nanti siang, Abang belikan yang baru. Tapi jangan diapa-apain dulu kasur itu" putusnya.

"Abangku sayangku cintaku ... Abang emang paling baik deh sedunia. Makasih, Bang, ya" Aku gembira tak terkira mendengar keputusannya. Akhirnya setelah sekian lama, luluh juga.

******

Malam itu, kami pulang ke rumah dengan badan yang sangat letih. Hari ini pembeli ramai sekali. Ditambah, tadi siang sempat ditinggal Bang Lukman ke kota membeli kasur lipat seperti keinginanku. Membuatku benar-benar kuwalahan.

Kubuka pintu kamar. Ingin rasanya segera merebahkan diri sebentar, untuk menghilangkan kepenatan di badan. Tiba-tiba penghiduku mencium sesuatu. Bau yang sangat familiar. Bau kasur kesayangan suami.

"Abaaaaang ... kenapa kasurnya ditaruh di sini?" Kasur itu ditupuk di atas spring bed kami.

"Kan Abang sudah bilang, ini tuh kasur kasur keberuntungan, tidak tega Abang membuangnya. Abang taruh di kamar biar kita makin rukun, Sayang"

Aku sudah tak sanggup lagi berdebat. Badan yang letih, bau kamar yang begitu menyengat serta alasan yang tak masuk dari Bang Lukman membuat kepalaku pusing berputar. Matapun berkunang-kunang dan akhirnya menggelap. Pingsan.

END

*********

Maaf agak belepotan cerpennya. Mohon kritik dan masukkannya.

NGK, 06032018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar