Sabtu, 31 Maret 2018

Gara - Gara Salah Sangka

Wanita bergamis merah jambu itu tersenyum kepadaku. Menampakkan lesung pipi dan sederet gigi putihnya. Kerudung lebar yang menutup separuh tubuh, menjadikan dia terlihat anggun. Indah sekali. Membuat hati pria yang sudah lama menjomblo ini adem, bagai tersiram air terjun Sedudo.

Mungkin dialah bidadari yang dikirimkan Tuhan untukku.

Kuberanikan diri mendekat. Duduk di samping gadis bermata sipit itu.

"Boleh kenalan? Saya Dani ..."

Kuulurkan tangan. Tak bersambut. Sebagai ganti dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Maaf ..."

Aku tak mengerti arti ucapan maafnya. Menolak jabat tangankah? Oh ... iya, teman-teman cewek di kampus yang berpenampilan seperti dia, juga biasa tidak mau bersalaman dengan lawan jenis. Ah ... aku mengerti.

"Maaf, bisakah Mas Dani tidak duduk di sini?"

Deg.

Dia terlihat tidak nyaman. Ada yang salahkah?

Aku cukup tahu diri, dengan tidak duduk tepat di sampingnya. Jarak kami kurang lebih semetaran. Masih wajar untuk ukuran orang yang belum saling kenal. Lagipula bukankah dia tadi yang memancing duluan?

"Kenapa? Saya bukan orang jahat?"
ucapku, berharap sedikit membuatnya nyaman.

Aku mengambil kesimpulan, meski menurut banyak orang aku ini ganteng, tak ada tampang serem, tapi berdua di taman yang sepi seperti ini mungkin membuat gadis seperti dia merasa tidak aman.

"Bukan begitu, Mas. Ini tempat duduk teman saya. Itu dia lagi mengambil beberapa sampel daun untuk penelitian," ucapnya sambil menunjuk ke arah pohon yang berada tepat di belakang tempat dudukku tadi. Memang terlihat ada bayangan orang di sana.

Astaga. Berarti?

"Jadi Mbaknya tadi bukan senyum ke saya?" tanyaku memastikan.

"Astaghfirullahal'adziim ... ya bukanlah, Mas ... ngapain senyum-senyum ke yang bukan mahram?"

Wajahku memanas. Mungkin terlihat sudah seperti udang rebus setengah matang.

"Tapi tetep boleh kenalan 'kan? Ta'aruf. Siapa tau berjodoh, Mbak"

Sudah kepalang basah. Menahan sedikit malu tidak apa-apa. Jodoh kan memang perlu diperjuangkan.

"Maaf, Mas. Saya sudah menikah," ucapnya tegas.

Alamak ... Pupus sudah harapan.

Ah ... masih ada temannya. Gadis baik biasa berkumpul dengan yang baik pula. Aku yakin, yang ada di balik pohon itu juga sebaik perempuan ini.

Harapanku muncul kembali.

"Ya ... sudah, Mbak. Mungkin memang belum berjodoh. Kalau temannya, Mbak, sudah menikah belum? Boleh dikenalin?" ucapku pasang muka tebal.

"Boleh, Mas ... itu kebetulan orangnya sudah datang!" ujarnya sambil menunjuk ke belakang punggungku.

Aku menengok ke arah yang ditunjukkan. Tampak seorang pria muda berjanggut tipis membawa dedaunan. Entah apa.

"Ada apa, Sayang?" tanyanya mesra ke perempuan mungil di depanku.

"Nggak ada apa-apa, Bang. Ini ... ada yang mau kenalan sama Abang. Kenalkan Mas Dani, ini suami saya"

Aku tak tahu, mau disembunyikan kemana muka ini. Kalau tadi mukaku mirip udang rebus setengah matang, sekarang udangnya mungkin udah gosong saking malunya.

"Hakim ..." pria tinggi kekar itu menyebutkan nama seraya mengulurkan tangan.

Sedikit gemetar kusambut uluran tangannya.

"Dani ..."

Hening.

"Saya permisi dulu. Senang bisa kenalan sama Mas Hakim dan istri."

Tanpa menunggu jawaban, aku langsung membalikkan badan, berjalan secepat kilat, sebelum urat saraf maluku benar-benar terputus.
Ah ... Gagal lagi, deh move on dari status jomblo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar