"Udah ada calonnya, Bang?" godaku saat melihat Bang Halim, suamiku sedang asyik main Hp sambil senyum-senyum.
"Calon apa?"
"Calon madu buat Eneng"
"Emang Eneng sudah siap?"
"Siap nggak siap sih"
Ntah kenapa seperti ada belati yang menyayat saat aku mengucapkan itu. Masih segar diingatan saat proses ta'aruf dengan Bang Halim 7 tahun yang lalu.
**
Bang Halim adalah ketua rohis kampus. Pemahaman agamanya terkenal paling bagus diantara teman yang lain. Tercermin dalam setiap perilaku. Hampir tak ada desas-desus atau testimoni jelek tentang dirinya. Kemandirian dalam mengelola bisnis di sela-sela padatnya jadwal kuliah, menambah nilai plus.
Teman-teman banyak yang diam-diam mengidolakan Bang Halim dan berharap bisa bersanding dengannya. Dan bagai kejatuhan bulan saat dia memilihku. Meski dengan syarat yang tak mudah.
"Ada satu hal yang ingin saya katakan sebelum Ning Zahra menjawab lamaran Abang"
"Iya silakan, Bang" jawabku tanpa berani menatapnya.
"Seandainya suatu saat Abang diberi kemampuan, Abang ingin poligami. Dan Abang harap siapapun calon Abang, bisa menerima dan mempersiapkan hal itu"
"Itu syarat Abang"
Meski bukan aktivis dakwah, sedikit banyak aku mengerti hukum poligami. Memang hak laki-laki memiliki lebih dari satu istri dengan syarat bisa adil. Dan aku mengamini hak kaum lelaki tersebut, karena sudah tersurat di kitab suci.
Beda teori beda praktik. Mengerti bukan berarti siap menjalani. Saat perkara itu menghampiri, ternyata sungguh berat hati ini menerima. Bibirku kelu untuk menjawab. Hingga untuk beberapa saat aku hanya termangu.
"Bagaimana, Neng? Bisa menerima persyaratan Abang?"
"Boleh saya istikharah dulu?"
Aku butuh menenangkan pikiran, sebelum memberi keputusan.
"Baiklah Neng, Abang akan menunggu. Sampai berapa lama?"
"Tiga hari"
"Oke, Saya menunggu jawaban Eneng 3 hari lagi."
Selama 3 hari tersebut selain sholat istikharah, aku kembali membaca buku-buku tentang poligami dan mendatangi kajian yang kebetulan membahas tentang hal tersebut. Dan tentu saja berdiskusi dengan keluarga besar. Bagaimanapun ini bukan saja menyangkut kami berdua, tapi juga seluruh keluarga.
Banyak pro dan kontra dari keluarga, tapi suara teduh bapak, memantapkan hatiku untuk menentukan pilihan.
"Poligami adalah bab tertinggi dalam pernikahan. Saat memasuki pernikahan, memang sudah seharusnya kamu mempersiapkannya, memperiapkan ilmu dan hati. Terlepas dari ada tidaknya persyaratan dari calon suami. Agar nanti jika takdir membawamu harus melaluinya, kamu tidak akan kecewa dan naudzubillah, sampai mengharamkan sesuatu yang dibolehkan oleh Allah" ucap bapak kala itu.
**
"Bismillahirrohmanirrohiim. Insyaallah aku menerima syarat dari Abang ... tapi saya juga punya satu syarat,"
ujarku saat pertemuan 3 hari kemudian.
"Apa itu, Neng?" tanyanya antusias.
"Saat Abang kelak siap untuk menikah lagi, saya ingin dilibatkan dalam memilih calonnya"
Dia tampak berpikir sejenak.
"Baiklah ... Abang menerima syarat dari Neng Zahra . Jika kelak Allah menakdirkan Abang nikah lagi, Enenglah yang akan memilihkan calonnya untuk Abang."
**
Ucapan terakhir saat proses lamaran itulah yang selalu kupegang. Aku tidak menyukai kejutan. Meski dari awal sudah mempersiapkan hati dan mental, tapi tetap saja hati ini tidak akan kuat jika Bang Halim secara mendadak mengajukan calonnya.
Dan melihat Bang Halim beberapa hari ini asyik sendiri dengan ponselnya, bahkan sering mengabaikanku dan anak-anak, membuat kecemburuan menelusup di kalbu.
"Beneran, Abang ingin menikah lagi?" tanyaku menegaskan.
Bang Halim meletakkan ponselnya.
"Menurutmu, Abang sudah siap belum?"
"Kok balas bertanya sih?" tanyaku semakin dag dig dug menunggu jawabnya.
Bang Halim tampak menghela napas. Kemudian menarikku ke dalam pelukannya.
"Ingat tidak Neng, doa yang diucapkan teman-teman dan keluarga dihari pernikahan kita?"
"Doa agar kita sakinah mawaddah wa rahmah ya, Bang?
"Betul ... Eneng tau artinya?"
"Sakinah tentram, mawaddah penuh cinta, warahmah kasih sayang"
"Pinter ... itulah cita-cita Abang Neng, memiliki keluarga yang tentram, penuh cinta dan kasih sayang dalam keridhoan-Nya"
"Dan Abang berterima-kasih sekali, selama ini Eneng sudah menemani, menjadi istri yang sempurna buat Abang serta ibu yang baik buat dua buah hati kita, Hanif dan Latif"
Kami berdua terdiam.
"Belum mau nambah lagi kan, Bang?"
"Abang masih merasa cukup dengan keluarga kecil ini bidadariku"
"Beneran? Abang tidak akan sembunyi-sembunyi pacaran lagi kan?"
"Astagfirullahaladziiim ... ya tidaklah, Neng. Abang masih takut dosa"
"Abang masih ingat janji Abang, kan?"
Bang Halim mengeratkan pelukkannya.
"Neng, Abang mau menceritakan rahasia"
"Rahasia apa?"
"Dulu sebelum menikah, Abang pernah melihat seorang akhwat begitu berapi-api membela poligami saat berdebat dengan temannya."
"Abang suka sama akhwat itu? Akhwat itu ya, yang sering Abang ajak chat akhir-akhir ini?" cerocosku.
"Iya, Abang menyukainya"
Aku melepaskan pelukan Bang Halim. Airmata mengalir tanpa bisa kucegah.
"Dan saat mengkhitbahnya, Abang ingin menggodanya dengan sedikit ujian."
Mendengar suamiku sudah mengkhitbah gadis lain tanpa sepengetahuanku membuat hatiku seakan terlepas dari tempatnya.
"Ja ... jadi Abang sudah mengkhitbah akhwat itu? Siapa namanya Bang?" Airmata semakin deras mengalir.
"Sudah Abang Khitbah 7 tahun yang lalu. Namanya Zahra Ayu Sinta."
Rasanya beban seberat gunung terlepas dari pundakku. Dengan rasa lega dan sedikit sebel, kupeluk kembali Bang Halim.
"Abang ini, suka sekali jahilin Eneng," rajukku sambil memcubit pelan lengannya.
"Habisnya, Eneng cemburuan, sih"
"Itu kan karena Eneng sayang"
"Makasih ya, Bang sudah jadi Imam yang baik buat Eneng" lanjutku semakin membenamkan kepala di dadanya.
Tak terasa embun di mataku berubah menjadi anak sungai yang mengalir tak terbendung. Airmata bahagia yang menghapus segala prasangka.
"Tapi kalau ada teman Eneng yang sholihah, baik hati syukur-syukur cantik kayak Syahrini, boleh dong di ta'arufkan ke Abang" Bang Halim kembali menggodaku.
"Ada sih, Bang ... sholihah, baik hati dan mirip Syahrini" timpalku.
"Betulan Neng? Kok Abang tidak pernah tau?"
"Itu Bang yang tiap pagi jualan jamu di depan rumah?"
"Itu mah Nenek Suhrini"
"Abang mau? Beliau kan sudah janda, Bang. Kalau mau besok Eneng lamarkan"
"Yang lebih tua lagi ada tidak, Neng?"
Aku tertawa cekikikan melihat Bang Halim melepaskan pelukannya dan ngeloyor ke belakang sambil bersungut-sungut.
END
*******
Mohon maaf mengangkat tema ini lagi. Bila tidak berkenan dengan kontennya, mohon abaikan saja. Tapi krisan untuk cara penulisannya sangat dinantikan. Makasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar