Senin, 19 Maret 2018

Telur Palsu

"Ayo, Ma, beliin ...!" rajuk putri kecilku, Ratih.

"Yang lain saja ya?" bujukku.

Aku memeriksa barang-barang yang sudah masuk ke keranjang belanjaan. Sudah lengkap.  Kuletakkan keranjang tersebut di meja kasir.

"Nggak mau. Pokoknya mau beli yang itu." Rengeknya semakin menjadi dan bersiap-siap mengeluarkan jurus andalannya. Menangis.

Sudah sebulan ini Ratih ketagihan telur. Kalau telur ayam kampung biasa, tak masalah. Justru bagus untuk pertumbuhan. Masalahnya dia hanya mau makan telur yang dibeli di minimarket depan rumah. Tidak mau yang lain.
Aku jadi kewalahan, karena harga telur di sana jauh lebih mahal.

Anak-anak sebayanya pun mengalami hal yang sama. Kemarin pas arisan, ibu-ibu banyak yang curhat kalau anaknya juga mulai  ketagihan telur tersebut. Sangat membuat resah. Ditambah lagi, viralnya video telur palsu membuat kami semakin was-was.

Semua ibu tentunya sama, ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Lebih-lebih makanan. Kami tidak ingin anak-anak kami mengkonsumsi sesuatu yang membahayakan atau tidak jelas kandungannya.

Untuk kebutuhan telur, tentu saja lebih nyaman membeli langsung di peternak. Selain aman juga lebih segar dan hemat. Namun anak-anak agak susah dibuat mengerti.

"Tidak. Ibu bilang tidak ya tidak," tegasku.

Tangisnya semakin keras. Namun aku tak bergeming. Bukannya pelit, hanya ingin menjaga dan mengajari putri semata wayang, bahwa tidak setiap keinginan bisa didapat dengan menangis. Meski harus menahan malu menjadi pusat perhatian pengunjung yang lain, aku rela.

Kasir selesai menghitung belanjaan. Setelah membayar, aku segera menggendong putri kecilku keluar dari minimarket tersebut. Tak kuhiraukan dia yang masih meraung-raung sambil menunjuk makanan kesukaannya, si telur palsu yang berisi cokelat dan hadiah mainan di dalamnya. Kind*j*y.

Maafkan ibumu ya, Nak. Mudah-mudahan kelak kamu mengerti. Bahwa itu harganya mahal sekali. Bisa bocor tabungan ibu, Nak, kalau harus beli tiap hari.

********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar