Sejak sakit beberapa minggu yang lalu, tak tahu kenapa Ayik sering sekali bertanya begini, "Ma ... kalau Ayik sakit, Mama sedih nggak?"
Aku nggak tahu apa yang ada dipikiran bocah 4 tahun itu. Mungkin karena dilihatnya mukaku datar saja saat dia sakit, sampai-sampai meragukan perasaan mamanya. Entahlah.
Menghadapi orang sakit tiap hari, membuatku harus belajar menahan diri agar tidak berekspresi berlebihan terhadap berbagai model penyakit dan orang sakit. Dari yang lempeng saja, sampai yang teriak-teriak memilukan. Dan itu kebawa sampai di rumah. Kalau ada keluarga yang sakit, batuk pilek atau sakit ringan lainnya, aku memang terkesan cuek. Tapi bukan berarti tidak sedih atau tidak perhatian, hanya terbiasa menahan diri saja.
"Ya sedih ... wong anak orang lain sakit saja Mama sedih, apalagi anak Mama sendiri yang sakit"
Dia nampak puas dengan jawabanku. Tapi tiap ngobrol atau lagi main, pertanyaan itu tak pernah absen dari daftar tanya. Memang kebiasaannya menanyakan sesuatu berkali-kali. Apalagi jika itu dianggap menarik.
Seperti hari ini dia pun menanyakan pertanyaan yang sama.
Ceritanya ban sepeda motor suami bocor waktu pulang dari klinik tempatku praktik. Suami mencari bengkel untuk menambal ban dan meminta kami untuk menunggu di dalam klinik saja. Tapi Ayik rewel minta pulang. Dibujuk tidak mempan. Tangisnya tambah keras. Akhirnya kuiyakan dengan perjanjian.
"Oke ... kita pulang jalan kaki, tapi Ayik tidak boleh minta gendong kalau capek ... setuju?"
Saat anak merajuk, tidak kubiasakan membujuknya dengan iming-iming hadiah atau menakutinya dengan sesuatu. Takut nanti jadi kebiasaan saat besar. Dan tidak efektif menurutku. Karena biasanya makin lama permintaannya makin aneh-aneh dan susah dipenuhi. Dengan perjanjian, selain tidak membiasakan anak manja juga bisa mengajari anak bertanggung jawab, minimal terhadap janjinya.
"Setuju, Mama" tangisnya langsung berhenti.
Menempuh jarak berkilo-kilo dengan jalan kaki sudah biasa kulakukan sejak kuliah. Kalau cuma dari klinik ke rumah yang hanya 2 kilo tidak masalah. Tapi buat Ayik, ini baru pertama kali.
Tiap berapa meter aku tanya, apa dia capek. Tidak katanya. Dan dia tampak senang sekali. Dan pertanyaan favoritnya kembali terlontar.
"Ma, kalau Ayik sakit, Mama sedih nggak?"
"Ya sedih dong"
"Lha kenapa, Ma"
"Kan Ayik anaknya Mama" jawabku otomatis.
Dia kembali menikmati perjalanan dan terus bercakap. Tapi tiba-tiba dia berhenti.
"Mama ... awas ada truk besar!" teriaknya.
Kulihat dia tampak khawatir sekali. Jalan raya yang kami lalui memang cukup ramai siang itu. Banyak truk-truk pengangkut pasir berlalu-lalang.
"Nggak apa-apa, Sayang ... kita kan jalannya di pinggir"
"Ke sini Mama, lebih ke pinggir lagi, nanti Mama tertabrak" ucapnya sambil menarik tanganku.
"Kalau Mama tertabrak nanti Ayik sedih" lanjutnya.
"Kenapa sedih?" tanyaku iseng.
"Kan Ayik anaknya Mama"
Aku diam, menunggu dia melanjutkan celotehnya.
"Kalau Ayik sakit Mama sedih, kan ... kalau Mama sakit Ayik juga sedih, Ma"
Ada cairan hangat yang hendak menerobos keluar dari sudut mata. Terharu. Tak menyangka, bayiku bisa bilang seperti itu. Ingin kupeluk dia saat itu juga.
Tapi tidak. Habis dipeluk pasti dia mau lebih. Masih separuh perjalanan. Dan berjalan kaki di tengah terik matahari dengan menggendong bocah 15 kilogram sepertinya bukan ide yang menyenangkan. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar