"Tidak!" tegas Yani.
Bagas terkejut mendapat penolakan dari wanita pujaannya tersebut. Hubungan yang beberapa bulan ini semakin membaik, ternyata belum cukup untuk mencairkan kebekuan hati mantan kekasihnya tersebut.
"Kenapa, Yani? Aku mencintaimu?"
Ditatapnya wanita berkulit kuning langsat di depannya, barangkali bisa sedikit membaca apa yang ada dipikirannya. Salahnya memang, dulu meninggalkan wanita berhati lembut itu begitu saja dan menikah dengan wanita pilihan orang tua.
Tapi benarkah pintu maaf itu sudah tertutup untuknya. Bahkan setelah sekarang Bagas berpisah dari Isti, istrinya.
"Aku tahu itu, Bagas. Tapi aku tak bisa ...!" Wanita berkerudung hijau lumut itu tetap pada pendiriannya.
"Apa yang kurang dariku, Yani?"
Bersahabat selama 3 tahun, kemudian menjalin kasih dalam waktu yang sama, membuat Bagas mengerti betul, wanita bergamis cokelat di hadapannya ini adalah sosok yang sedikit keras kepala. Kalau sudah berkata 'tidak', susah sekali membalikkannya menjadi 'iya'. Tapi walau bagaimana, Bagas akan terus mencoba. Dia ingin menebus kesalahannya beberapa tahun silam, dengan menikahi wanita yang pernah pernah merajai hatinya.
"Tidak ada, Bagas. Tidak ada yang kurang dari dirimu. Hanya aku tak bisa!"
"Karena Rubi?" tebak pria berjanggut tipis tersebut.
Rubi adalah putri semata wayang hasil dari pernikahan wanita berhidung mancung terdahulu. Usianya tahun ini genap 5 tahun.
Setelah Bagas menikah, Yani menurut saja saat dijodohkan dengan putra dari teman ayahnya. Rudi, suaminya, meski tidak seganteng dan sekaya Bagas, namun dia sangat pengertian, lembut dan penyabar. Pelan-pelan Rudi berhasil menyembuhkan luka di hati Yani. Kebahagiaan mereka bertambah saat Yani dinyatakan hamil, 4 bulan setelah pernikahan.
Namun hal itu tak berlangsung lama. Setahun setelah pernikahan, Rudi meninggal dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan Yani yang saat itu sedang hamil tua.
Dan sebulan kemudian, lahirlah putri kecilnya. Rubi.
"Iya ... salah-satunya karena putriku. Dia sudah kehilangan ayahnya, aku tak ingin dia juga kehilangan aku, ibunya!"
"Aku bisa jadi Ayah pengganti untuk Rubi. Dan siapa bilang dia akan kehilanganmu kalau kau menikah denganku? Kita bisa merawatnya bersama," cerocos Bagas mendengar alasan tak masuk akal dari Yani.
"Sudahlah Bagas. Kau takkan mengerti. Pulanglah. Jawaban atas pinanganmu sudah jelas. Aku tidak bisa menerimanya"
"Setidaknya beri aku satu alasan yang masuk akal!"
"Oke ... aku sudah tidak mencintaimu. Dan aku masih membencimu. Puas!"
Yani bangkit dari tempat duduknya. Bersiap masuk ke dalam rumah.
"Dan sekarang pulanglah, sudah malam. Aku tidak mau menjadi gunjingan tetangga!"
Bagas termangu. Dengan terpaksa dia bangkit dari duduknya. Hatinya hancur.
Seperti inikah dulu yang dirasakan Yani saat dengan terang-terangan keluarganya menolaknya. Bahkan, dia yang berjanji akan menjadi pelindungnya, tak bisa menolong saat itu. Penyakit jantung koroner ayahnya baru saja kambuh, membangkang hanya akan membahayakan nyawa ayahnya.
Hal itu pula yang membuat Bagas dengan terpaksa menikahi wanita yang tidak dicintainya.
Dengan tubuh gontai, pria berambut cepak itu meninggalkan rumah Yani. Rupanya luka yang ditorehkannya begitu dalam, hingga waktu 7 tahun belum berhasil menghapus.
Melihat pemuda maskulin itu pergi, Yani tak kuasa lagi menahan airmata yang sedari tadi ingin keluar dari kantongnya. Betulkah dia sudah tidak mencintainya? Betulkah dia membencinya? Omong kosong. Rudi memang berhasil menyembuhkan luka hatinya, tapi tak pernah bisa menghapus nama Bagas dari sudut hatinya.
Dia masih sangat mencintai pemuda itu. Tapi hati kecilnya mencegah untuk menerima Bagas kembali. Dirinya masih belum siap menerima jika harus mengulang penghinaan dari keluarga Bagas.
Masih segar diingatan apa yang dikatakan Ibu Bagas saat Yani diajak Yani ke rumah oleh Bagas, untuk diperkenalkan dengan keluarga besarnya. Perkataan itulah yang meruntuhkan harapannya bersanding dengan pria yang sudah mengambil seluruh hatinya sejak awal bertemu.
"Kamu cantik, Nduk. Unggah-ungguhmu bagus. Tapi maaf kami tak bisa menerimamu. Bagas hanya akan menikah dengan gadis yang sepantaran, bukan anak pegawai rendahan macam kamu. Derajat kita beda, Nduk."
Itu dulu. Saat dirinya masih gadis dan bertubuh sempurna. Bagaimanalah lagi sekarang, saat Yani sudah menjadi janda beranak satu dengan kedua tangan buntung? Iya, kecelakaan itu bukan cuma merenggut nyawa suaminya, tapi juga kedua tangannya.
Yani bukannya tak mau memperjuangkan cintanya, hanya bersikap realistis. Keinginannya saat ini, hanya membesarkan putrinya dengan tenang. Dia tak ingin Rubi hidup di tengah keluarga yang menganggap derajat manusia hanya diukur dari harta dan keturunan serta hal-hal duniawi lainnya.
Kalaupun harus menikah lagi, biarlah dia menikah dengan seseorang seperti mendiang suaminya dulu, yang menerimanya apa adanya dan bisa membimbingnya lebih dekat kepada Sang Pencipta.
End
°°°°°
Tidak ada komentar:
Posting Komentar