Minggu, 01 April 2018

Sisi Lain

"Mbak 'kok bisa sabar banget, sih?"

Mbak Hesti tersenyum, menatapku sejenak, kemudian kembali menatap layar komputer.

"Tuntutan, Des. Hidup Mbak, banyak likunya. Kalau nggak sabar, kelar, deh"

"Okelah, Mbak, kalau urusan yang lain ... lha ini berbagi suami, kok bisa?"

Wanita 35 tahun itu menghela napas.

"Kalau boleh memilih, Mbak pun pengen menjadi satu-satunya, Des. Mana ada perempuan mau dimadu. Tapi ini memang sudah jalan yang harus Mbak tempuh, mau gimana lagi?"

"Kok kesannya pasrah banget?"

"Siapa bilang saya pasrah? Saya hanya berusaha menerima takdir"

"Kadang, Mbak mensyukuri keaadaan ini, Des?"

"Mensyukuri bagaimana, Mbak?"

"Dengan Mas Hendra menikah lagi, ada wanita lain yang bisa bantu ngemong bocah berkumis itu"

"Aku jadi punya waktu buat mewujudkan impianku"

"Impian?"

"Seperti yang kau lihat sekarang, bisnis Mbak semakin berkembang. Beberapa cabang sudah mulai jalan juga. Dari situ Mbak bisa membangun rumah singgah untuk tunawisma dan menjadi ibu asuh untuk beberapa anak yatim."

"Aku nggak mungkin bisa melakukan itu, kalau ngga ada yang bantuin ngurus masmu. Kau tau sendiri kan rewelnya dia?"

"Mbak nggak cemburu? Nggak sakit hati? Dulu pas Mas Hendra melarat Mbak yang nemenin, giliran sekarang sukses eh malah nikah lagi"

"Sakit sih, awalnya ... tapi biarlah toh itu memang haknya dia."

"Kalau saya sudah minta cerai, Mbak. Nggak sanggup!"

"Des, kita nggak bisa mengontrol pikiran orang lain, suami atau bahkan anak yang lahir dari rahim kita. Yang bisa kita kontrol hati kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar