Sabtu, 31 Maret 2018

Gara - Gara Salah Sangka

Wanita bergamis merah jambu itu tersenyum kepadaku. Menampakkan lesung pipi dan sederet gigi putihnya. Kerudung lebar yang menutup separuh tubuh, menjadikan dia terlihat anggun. Indah sekali. Membuat hati pria yang sudah lama menjomblo ini adem, bagai tersiram air terjun Sedudo.

Mungkin dialah bidadari yang dikirimkan Tuhan untukku.

Kuberanikan diri mendekat. Duduk di samping gadis bermata sipit itu.

"Boleh kenalan? Saya Dani ..."

Kuulurkan tangan. Tak bersambut. Sebagai ganti dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Maaf ..."

Aku tak mengerti arti ucapan maafnya. Menolak jabat tangankah? Oh ... iya, teman-teman cewek di kampus yang berpenampilan seperti dia, juga biasa tidak mau bersalaman dengan lawan jenis. Ah ... aku mengerti.

"Maaf, bisakah Mas Dani tidak duduk di sini?"

Deg.

Dia terlihat tidak nyaman. Ada yang salahkah?

Aku cukup tahu diri, dengan tidak duduk tepat di sampingnya. Jarak kami kurang lebih semetaran. Masih wajar untuk ukuran orang yang belum saling kenal. Lagipula bukankah dia tadi yang memancing duluan?

"Kenapa? Saya bukan orang jahat?"
ucapku, berharap sedikit membuatnya nyaman.

Aku mengambil kesimpulan, meski menurut banyak orang aku ini ganteng, tak ada tampang serem, tapi berdua di taman yang sepi seperti ini mungkin membuat gadis seperti dia merasa tidak aman.

"Bukan begitu, Mas. Ini tempat duduk teman saya. Itu dia lagi mengambil beberapa sampel daun untuk penelitian," ucapnya sambil menunjuk ke arah pohon yang berada tepat di belakang tempat dudukku tadi. Memang terlihat ada bayangan orang di sana.

Astaga. Berarti?

"Jadi Mbaknya tadi bukan senyum ke saya?" tanyaku memastikan.

"Astaghfirullahal'adziim ... ya bukanlah, Mas ... ngapain senyum-senyum ke yang bukan mahram?"

Wajahku memanas. Mungkin terlihat sudah seperti udang rebus setengah matang.

"Tapi tetep boleh kenalan 'kan? Ta'aruf. Siapa tau berjodoh, Mbak"

Sudah kepalang basah. Menahan sedikit malu tidak apa-apa. Jodoh kan memang perlu diperjuangkan.

"Maaf, Mas. Saya sudah menikah," ucapnya tegas.

Alamak ... Pupus sudah harapan.

Ah ... masih ada temannya. Gadis baik biasa berkumpul dengan yang baik pula. Aku yakin, yang ada di balik pohon itu juga sebaik perempuan ini.

Harapanku muncul kembali.

"Ya ... sudah, Mbak. Mungkin memang belum berjodoh. Kalau temannya, Mbak, sudah menikah belum? Boleh dikenalin?" ucapku pasang muka tebal.

"Boleh, Mas ... itu kebetulan orangnya sudah datang!" ujarnya sambil menunjuk ke belakang punggungku.

Aku menengok ke arah yang ditunjukkan. Tampak seorang pria muda berjanggut tipis membawa dedaunan. Entah apa.

"Ada apa, Sayang?" tanyanya mesra ke perempuan mungil di depanku.

"Nggak ada apa-apa, Bang. Ini ... ada yang mau kenalan sama Abang. Kenalkan Mas Dani, ini suami saya"

Aku tak tahu, mau disembunyikan kemana muka ini. Kalau tadi mukaku mirip udang rebus setengah matang, sekarang udangnya mungkin udah gosong saking malunya.

"Hakim ..." pria tinggi kekar itu menyebutkan nama seraya mengulurkan tangan.

Sedikit gemetar kusambut uluran tangannya.

"Dani ..."

Hening.

"Saya permisi dulu. Senang bisa kenalan sama Mas Hakim dan istri."

Tanpa menunggu jawaban, aku langsung membalikkan badan, berjalan secepat kilat, sebelum urat saraf maluku benar-benar terputus.
Ah ... Gagal lagi, deh move on dari status jomblo.

Sebuah Penolakan

"Tidak!" tegas Yani.

Bagas terkejut mendapat penolakan dari wanita pujaannya tersebut.  Hubungan yang beberapa bulan ini semakin membaik, ternyata belum cukup untuk mencairkan kebekuan hati mantan kekasihnya tersebut.

"Kenapa, Yani? Aku mencintaimu?"

Ditatapnya wanita berkulit kuning langsat di depannya, barangkali bisa sedikit membaca apa yang ada dipikirannya. Salahnya memang, dulu meninggalkan wanita berhati lembut itu begitu saja dan menikah dengan wanita pilihan orang tua.

Tapi benarkah pintu maaf itu sudah tertutup untuknya. Bahkan setelah sekarang Bagas berpisah dari Isti, istrinya.

"Aku tahu itu, Bagas. Tapi aku tak bisa ...!" Wanita berkerudung hijau lumut itu tetap pada pendiriannya.

"Apa yang kurang dariku, Yani?"

Bersahabat selama 3 tahun, kemudian menjalin kasih dalam waktu yang sama, membuat Bagas mengerti betul, wanita bergamis cokelat di hadapannya ini adalah sosok yang sedikit keras kepala. Kalau sudah berkata 'tidak', susah sekali membalikkannya menjadi 'iya'. Tapi walau bagaimana, Bagas akan terus mencoba. Dia ingin menebus kesalahannya beberapa tahun silam, dengan menikahi wanita yang pernah pernah merajai hatinya.

"Tidak ada, Bagas. Tidak ada yang kurang dari dirimu. Hanya aku tak bisa!"

"Karena Rubi?" tebak pria berjanggut tipis tersebut.
Rubi adalah putri semata wayang hasil dari pernikahan wanita berhidung mancung terdahulu. Usianya tahun ini genap 5 tahun.

Setelah Bagas menikah, Yani menurut saja saat dijodohkan dengan putra dari teman ayahnya.  Rudi, suaminya, meski tidak seganteng dan sekaya Bagas, namun dia sangat pengertian, lembut dan penyabar. Pelan-pelan Rudi berhasil menyembuhkan luka di hati Yani. Kebahagiaan mereka bertambah saat Yani dinyatakan hamil, 4 bulan setelah pernikahan.

Namun hal itu tak berlangsung lama. Setahun setelah pernikahan, Rudi meninggal dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan Yani yang saat itu sedang hamil tua.

Dan sebulan kemudian, lahirlah putri kecilnya. Rubi.

"Iya ... salah-satunya karena putriku. Dia sudah kehilangan ayahnya, aku tak ingin dia juga kehilangan aku, ibunya!"

"Aku bisa jadi Ayah pengganti untuk Rubi. Dan siapa bilang dia akan kehilanganmu kalau kau menikah denganku? Kita bisa merawatnya bersama,"  cerocos Bagas mendengar alasan tak masuk akal dari Yani.

"Sudahlah Bagas. Kau takkan mengerti. Pulanglah. Jawaban atas pinanganmu sudah jelas. Aku tidak bisa menerimanya"

"Setidaknya beri aku satu alasan yang masuk akal!"

"Oke ... aku sudah tidak mencintaimu. Dan aku masih membencimu. Puas!"

Yani bangkit dari tempat duduknya. Bersiap masuk ke dalam rumah.

"Dan sekarang pulanglah, sudah malam. Aku tidak mau menjadi gunjingan tetangga!"

Bagas termangu. Dengan terpaksa  dia bangkit dari duduknya. Hatinya hancur.

Seperti inikah dulu yang dirasakan Yani saat dengan terang-terangan keluarganya menolaknya. Bahkan, dia yang berjanji akan menjadi pelindungnya, tak bisa menolong saat itu. Penyakit jantung koroner ayahnya baru saja kambuh, membangkang hanya akan membahayakan nyawa ayahnya.
Hal itu pula yang membuat Bagas dengan terpaksa menikahi wanita yang tidak dicintainya.

Dengan tubuh gontai, pria berambut cepak itu meninggalkan rumah Yani. Rupanya luka yang ditorehkannya begitu dalam, hingga waktu 7 tahun belum berhasil menghapus.

Melihat pemuda maskulin itu pergi, Yani tak kuasa lagi menahan airmata yang sedari tadi ingin keluar dari kantongnya. Betulkah dia sudah tidak mencintainya? Betulkah dia membencinya? Omong kosong. Rudi memang berhasil menyembuhkan luka hatinya, tapi tak pernah bisa menghapus nama Bagas dari sudut hatinya.

Dia masih sangat mencintai pemuda itu. Tapi hati kecilnya mencegah untuk menerima Bagas  kembali. Dirinya masih belum siap menerima jika harus mengulang penghinaan dari keluarga Bagas.

Masih segar diingatan apa yang dikatakan Ibu Bagas saat Yani diajak Yani ke rumah oleh Bagas, untuk diperkenalkan dengan keluarga besarnya. Perkataan itulah yang meruntuhkan harapannya bersanding dengan pria yang sudah mengambil seluruh hatinya sejak awal bertemu.

"Kamu cantik, Nduk. Unggah-ungguhmu bagus. Tapi maaf kami tak bisa menerimamu. Bagas hanya akan menikah dengan gadis yang sepantaran, bukan anak pegawai rendahan macam kamu. Derajat kita beda, Nduk."

Itu dulu. Saat dirinya masih gadis dan bertubuh sempurna. Bagaimanalah lagi sekarang, saat Yani sudah menjadi janda beranak satu dengan kedua tangan buntung? Iya, kecelakaan itu bukan cuma merenggut nyawa suaminya, tapi juga kedua tangannya.

Yani bukannya tak mau memperjuangkan cintanya, hanya bersikap realistis. Keinginannya saat ini, hanya membesarkan putrinya dengan tenang. Dia tak ingin Rubi hidup di tengah keluarga yang menganggap derajat manusia hanya diukur dari harta dan keturunan serta hal-hal duniawi lainnya.

Kalaupun harus menikah lagi, biarlah dia menikah dengan seseorang seperti mendiang suaminya dulu, yang menerimanya apa adanya dan bisa membimbingnya lebih dekat kepada Sang Pencipta.

End
°°°°°

Nama

"Aku sudah bisa menuliskan namaku," ucap Ayik sambil mulai menggoreskan pensil yang dipegangnya ke kertas putih di meja.

"Masa? Aku lihat, ya!" Sahabatnya, Niswa mendekat ke arahnya. Tampak penasaran.

Ayik pun mulai menyelesaikan satu-persatu huruf dari ejaan namanya.

A - Y - I - K

"Sudah jadi, deh," serunya senang.

Niswa yang melihatnya pun tampak takjub.

"Iya, benar ... ini dibacanya A - Y - I - K." Niswa mengamati tulisan yang kini sudah berada di tangannya. Sebuah ide muncul di kepala mungilnya.

"Berarti kamu bisa dipanggil Ika, dong!" gagasnya.

Ayik pun mengiyakan, membenarkan gagasan cemerlang dari sahabatnya.

Mama Ayik yang mendengar percakapan bocah 4 tahun tersebut merasa ada yang salah. Perasaan nama anaknya tidak ada unsur 'Ika'nya. Darimana mereka dapetnya.

"Dari mana kok bisa dapat nama Ika?" tanyanya ingin tahu.

"A - Y - I - K...  I - K , berarti ada 'Ika'nya 'kan, Ma?"
ujar Ayik menjelaskan.

Mamanya tepok jidat. Pengen menjelaskan, tapi bingung, tak tahu bagaimana cara termudah agar mereka mengerti.

Akhirnya cuma bisa bilang," sakkarepmu, Nak. Mudah-mudahan kelak dadi anak yang pintar dan sholihah."

Rabu, 28 Maret 2018

Tukang Tambal Ban Misterius

Tidak seperti biasa, jalanan ini tampak sepi. Hanya sesekali terlihat kendaraan berlalu. Mungkin karena malam sudah sangat larut dan hujan yang mengguyur sejak sore tadi membuat orang lebih memilih bersembunyi di bawah selimut.

Demikian pula diriku kalau saja tidak ada teman yang meminta tolong menggantikan shiftnya sejam. Dia harus mengantarkan ibunya ke dokter. Kuiyakan saja. Toh jomblo sepertiku tak punya kewajiban pulang tepat waktu.

Aku menaikkan kecepatan sepeda motor. Namun entah mengapa, bukannya tambah cepat, lajunya malah semakin melambat. Seperti ada beban berat di belakang. Ah ... mungkin hanya perasaan saja. Tak ada apa-apa di sana.

Dan benar saja, tak berapa lama motor oleng. Aku injak rem kuat-kuat. Alhamdulillah berhenti dan tak terjatuh. Kuperiksa bannya. Ah ... sial. Ban belakang bocor.

Dengan terpaksa aku menuntun motor menembus kegelapan malam dan dinginnya hujan. Sedikit lega, karena seingatku sekitar 1 kilometer dari tempat ini ada bengkel. Mudah-mudahan masih buka.

"Tinn ... tinn!"

Suara klakson motor mengagetkan. Aku menoleh ke belakang. Berharap dapat pertolongan atau paling tidak teman seperjalanan. Tapi?

Pengendara itu hanya menoleh sekilas kemudian malah menambah kecepatan laju motornya. Aish.

Kembali kurasakan motor memberat. Bahkan saat melewati jalanan yang menurun, beratnya tidak berkurang. Hawa di belakang punggungku terasa berbeda. Lebih dingin. Ada aura yang tak biasa. Bulu kuduk pun meremang.

Aku semakin mempercepat langkah. Samar-samar ada cahaya di depan. Sudah dekat rumah penduduk rupanya. Lega. Dan seingatku rumah yang paling unjung adalah bengkel sepeda motor.

Sampailah di bengkel tersebut. Tampak seseorang di depan. Alhamdulillah masih buka berarti.

"Pak, bisa tambal motor?"
Orang itu hanya menggangguk.

Dia memeriksa bebek hijauku sejenak lalu mempersiapkan alat kerjanya. Sejurus kemudian motorku pun mulai diotak-atik.

Laki-laki setengah baya itu bekerja tanpa suara. Tanpa ekspresi juga. Kucoba memancing dengan beberapa pertanyaan. Tapi responnya cuma menggeleng, mengangguk kadang mendengus. Ah ... mungkin memang laki-laki berkumis lebat itu tak suka bercakap.

Akhirnya untuk membunuh waktu kukeluarkan ponsel. Membuka medsos, barangkali masih ada teman yang aktif. Sepi. Sudah pada tidur barangkali. Iseng-iseng kupotret motor yang sedang diperbaiki. Buat barang bukti nanti kalau orang rumah ada yang nanya. (Kalau ada ...:-D)

Setengah jam kemudian motor selesai. Aku menanyakan ongkosnya, tapi dijawab dengan menggeleng. Kucoba meraih tangannya, memaksa memberikan sedikit uang jasa. Tapi kalah cepat. Pria seumuran bapak itu masuk rumah dan sedetik kemudian terdengar suara pintu dikunci dari dalam.

Orang yang aneh.

Dengan penuh keheranan aku menyalakan motor dan pergi. Sudah lewat tengah malam. Rasa ngantuk mulai menyerang dan dingin yang tembus sampai ke tulang membuat ingin secepatnya sampai di rumah. Biarlah nanti kapan-kapan kalau lewat sini lagi kuberikan uang atau yang lainnya sebagai balas jasa.

***

Dua hari kemudian, ban motorku kembali berulah. Bocor lagi. Mungkin memang sudah waktunya minta ganti. Untung kali ini kejadiannya siang bolong. Tak terbayangkan kalau harus mengulang seperti malam sebelumnya. Sakit kepala dan  flu berat akibat hujan-hujanan yang lalu saja masih terasa sampai sekarang.

Lokasinya pun hanya beberapa meter dari bengkel yang dua hari lalu aku singgahi. Syukurlah, aku bisa memberikan upahnya sekaligus.

Bengkel tampak sepi. Tak ada orang. Kuketuk pintu siapa tahu orangnya di dalam. Tiada jawaban.

"Pak, yang punya bengkel kemana, ya?" tanyaku kepada seorang warga yang kebetulan lewat.

Dia menoleh, lalu menghampiriku.

"Bengkelnya sudah seminggu lebih tutup, Mas. Pak Jono pemilik bengkel meninggal 9 hari yang lalu."

Lha?

"Masa sih, Pak? Dua malam yang lau saya barusan menambalkan motor saya di sini," ujarku tak percaya.

"Masnya salah ingat kali ... Dua malam yang lalu, 7 harinya Pak Jono. Wong saya juga diundang selametan, kok."

Benarkah?

Aku yakin di sinilah tempatnya. Sepanjang jalan dari kantor ke rumah hanya ada dua bengkel. Yang satu jaraknya hanya beberapa meter dari rumah dan yang satunya bengkel ini.

"Di sini kok, Pak. Saya yakin 99% dua malam yang lalu saya menambal ban di bengkel ini."

"Terus siapa yang menambal motornya, Mas? Wong rumah ini kosong sejak Pak Jono meninggal. Istrinya memilih ikut anaknya yang tinggal tak jauh dari sini. Itu rumahnya yang cat ijo," ucapnya sambil menunjuk rumah yang berjarak 100 meteran dari bengkel.

"Pegawainya barangkali, Pak?" eyelku.

"Pak Jono nggak punya pegawai, Mas ... anaknya juga nggak ada yang laki-laki."

Terus siapa yang kemarin berbaik hati menambal ban motorku?

Aku mengingat sesuatu. Kemarin saat iseng-iseng motret motor, beberapa kali tukang penambal ban yang sekarang kuketahui bernama Pak Jono, ikut tertangkap kamera.

Nah ... berguna juga rupanya.

Kukeluarkan ponsel. Jari ini langsung menuju ke galeri, mencari foto yang kumaksud.

Ketemu. Tapi? Zonk.

Hanya ada foto motor di sana. Tak ada gambar Pak Jono sama sekali. Alat-alat yang kemarin dia gunakan tampak melayang di potret yang kuambil.

Aku bergidik, membayangkan siapa yang membantuku kemarin. Keringat dingin tiba-tiba keluar, membasahi seluruh tubuh.

Kalau tak malu sama bapak yang di depanku, pasti aku sudah balik badan dan kabur.

"Oh ... iya, Pak. Barangkali saya memang salah tempat," ucapku sekuat mungkin menahan rasa takut. Aku tak ingin membuat kehebohan di tempat ini.

"Permisi dulu, ya Pak. Mau mencari bengkel yang lain."

Sebelum sempat membalikkan badan, pria berbadan kurus tinggi itu menahanku.

"Sebentar ... Mas ini yang menuntun motor pas hujan-hujan itu, ya?" tanyanya seraya mengamatiku.

"Kok tahu, Pak?"

"Saya yang waktu itu menglakson, Mas. Maaf ya, Bapak tidak berhenti ... takut."

"Takut kenapa, Pak?"

"Bapak melihat seseorang berpakaian serba putih, berambut panjang selutut dengan wajahnya penuh darah duduk di boncengan, Mas. Serem sekali," ucapnya. Rasa takut masih tampak tergambar jelas di wajahnya.

"Bapak jangan nakut-nakutin, dong. Malam itu saya cuma sendirian, tidak sedang membonceng siapa-siapa."

"Beneran, Mas. Buat apa Bapak bohong."

Nampak kejujuran di mata bapak tua itu.

Astaga.

Berarti malam itu ada dua hantu yang mencoba berkenalan dan aku tidak menyadarinya? Untunglah. Karena kalau sadar, mungkin aku baru sampai rumah besok paginya, karena pingsan semalaman di jalan.

Nasib high quality jomblo, bukan cuma cewek yang ngejar, hantu pun 'ngintil' juga.

"Jadi merinding ini, Pak. Kalau gitu saya pergi dulu, takut ada yang numpang di boncengan lagi. Assalamu'alaikum."

Cepat-cepat aku memutar sepeda motor dan menuntunnya setengah berlari, meninggalkan tempat itu. Aku takut, semakin banyak hantu yang tersepona oleh kegantenganku. (Waham kebesaran mode on) ^_^

END
¤¤¤¤

Berniat belajar menulis cerita horor, tapi susah membangun feel horornya.

Mohon kritik dan masukkannya.

Senin, 26 Maret 2018

"Ngaji, Ma!"

"Ma ... gendong!" ucap Ayik sambil mengangkat kedua tangannya.
Kalau ngantuk, biasa kumat manjanya.

"Sini!" Aku pun mengangkatnya. Lumayan berat.

Sejak isya' tadi dia terlihat tak begitu bersemangat. Kecapekan mungkin. Seharian ini bermain terus sama temannya. Pulang pas lapar saja dan jadwal mandi. Habis itu pergi lagi.

Sambil menunggu abinya beres-beres warung, aku menggendongnya jalan-jalan di depan cari angin. Benar, dia mulai mengantuk, matanya sudah mulai 'lier-lier'. Kunyanyikan lagu anak-anak bernada lembut. Berharap dia segera lelap.

Namun tidak sesuai harapan. Bukannya tidur, matanya malah kembali berbinar, menyala 100 watt.

"Ngaji, Ma ... jangan nyanyi!" ucapnya menegur.

Siingggg!

Emaknya langsung diam. Ditegur anak itu rasanya 'sesuatu'.

**
Aku memang jarang sekali menyengaja mendengar musik atau menyanyi. Sejak pertengahan kuliah barangkali. Karena pas SMA, seingatku masih sering menyanyi tak jelas dengan teman-teman di depan kelas.

Suatu ketika, saat ikut kajian, ada bahasan tentang musik. Sependengaranku, ada perbedaan pendapat ulama tentangnya. Ada pendapat yang mengharamkan, membolehkan dengan syarat dan memakruhkan. Karena ada yang mengharamkan aku memilih membatasi, karena untuk menghindari sama sekali aku belum sanggup.

Untuk Ayik pun demikian. Tak kubiasakan memperdengarkan lagu-lagu, apalagi lagu dewasa. Namun saat dia lihat youtube dan kebetulan menemukan lagu anak-anak dan suka, biasa kubiarkan.

Sebagai pengganti musik kuperdengarkan murotal. Kalau tidak, sebelum tidur aku atau abinya biasa membacakan cerita atau mengaji untuknya.

Jadi saat mendengar emaknya menyanyi, mungkin agak aneh terdengar di telinganya. Selain karena jarang-jarang, juga karena nadanya yang lari kemana-mana.

**

"Yuk ... pulang!" seru suamiku setelah mengunci pintu ruko.

Aku segera naik ke boncengan montor dengan tetap menggendong Ayik, yang meskipun tak jadi mengantuk, namun enggan turun dari gendongan.

Di tengah jalan, kebetulan kami melewati rumah tetangga yang sedang ada acara nikahan. Musik terdengar keras. Dan lagu yang sedang diputar lagu 'taktuntuang', lagu kesukaannya saat ini, yang biasa dia lihat di youtube versi Ipin Upin.

Reflek Ayik menirukan lagu tersebut sambil joget. Melihat tingkahnya, aku pun usil ingin mengganggu.

"Ngaji, Yik ... jangan nyanyi!" ucapku menirukan gayanya menegur.

"Ayik, kan menyanyi lagu anak-anak, Ma," kilahnya sambil terus menggerak-gerakkan tangannya.

"Coba dengerin, itu yang menyanyi anak-anak atau orang dewasa?"
Aku tak mau kalah.

Dia diam sejenak.

"Orang dewasa, Ma," jawabnya dan kembali terdiam. Tampak sedang berpikir.

"Ayik nggak niruin itu kok, Ma ... Ayik niruin yang di Ipin-Upin!"
ucapnya sambil tetap bernyanyi.

Abinya terbahak. Emaknya cuma bengong. Merasa kalah.

Minggu, 25 Maret 2018

Antibiotik

"Jadi minumnya tiap 12 jam ya, Dok? Bukan setiap pagi dan sore?" tanyaku setelah mendengar penjelasan Dokter Ayu tentang antibiotik yang di resepnya tertulis 2x1.

"Benar, Bu Rini."

"Bukannya sama saja ya, Dok?"

"Beda, Bu. Pagi dan sore itu luas sekali. Pagi jam berapa? Sore jam berapa? Tidak jelas waktunya. Sementara antibiotik butuh ketepatan waktu."

Aku belum mengerti. Dokter bertubuh langsing itu sepertinya melihat kebingunanku, sehingga dia pun menjelaskan lebih rinci.

"Jika diibaratkan sedang berperang, antibiotik itu seperti pasokan senjata dari luar. Kekuatannya ada yang bertahan 6 jam, ada yang 8 jam, ada yang 12 jam, dan ada yang 24 jam. Makanya harus diminum tepat waktu sesuai aturan. Agar antibodi, tentara tubuh kita, tidak kehabisan pasokan senjata."

"O ... begitu," ujarku sambil manggut-manggut. Sedikit mengerti.

**

Sudah tiga hari ini aku 'anyang-anyangen'. Sebentar-sebentar buang air kecil. Kalau keluarnya banyak, tidak masalah. Terasa lega. Lha ini keluar sedikit-sedikit, tidak tuntas dan nyeri.

Dokter Ayu bilang, aku terkena infeksi saluran kencing. Penyebabnya karena kuman. Kenapa bisa terkena? Boleh jadi karena kurang minum air putih atau sering menahan pipis, sehingga kuman yang harusnya keluar, jadi menumpuk dan akhirnya menimbulkan sakit.

Memang benar sih, sebulan ini aku sedikit sibuk. Ada pesanan baju seragam untuk acara nikahan yang jumlahnya lumayan banyak dan 'deadline'nya mepet sekali. Meski sudah dibantu beberapa penjahit lain, tetap saja masih kuwalahan. Makan dan minum pun sering telat. Keperluan ke kamar mandi pun sering tertunda, demi memaksimalkan waktu agar pesanan segera selesai.

Dan hasilnya seperti ini, aku terkena infeksi saluran kemih.

Dokter Ayu memberikan 2 jenis obat, antibiotik diminum dua kali sehari dan antinyeri diminum 3 kali sehari. Selama ini, setauku kalau di label obat tertulis 2 kali sehari berarti diminumnya tiap pagi dan sore. Dan untuk yang 3 kali, diminumnya pagi, siang dan sore. Ternyata salah.

Mendengar penjelasan Dokter berwajah cerah tadi, aku sedikit tercerahkan.

**

"Boleh bertanya satu lagi, Dok?"

"Iya, silakan"

"Dokter bilang antibiotik harus diminum sampai habis, kenapa, Dok? Bukannya lebih bagus kalau sudah sembuh kita stop saja, biar nggak kebanyakan obat?" Aku masih ingat dulu dokter berhijab panjang itu pernah menjelaskan, kalau obat itu bisa saja menjadi racun kalau diminum terus-menerus atau berlebihan.

"Untuk menghindari resisitensi, Bu.  Kekebalan."

"Maksudnya, Dok? Kan bagus kita jadi kebal?"

Dokter Ayu tersenyum.

"Bukan kita yang kebal, Bu Rini, tapi bakterinya."

"Kok bisa, Dok?"

"Bisa ... Kadang kita sudah merasa sehat, saat baru minum antibiotik beberapa kali. Namun, sayangnya nih, kita tidak bisa tau, keluhan kita membaik itu karena kumannya sudah benar-benar mati atau cuma 'kelenger' saja. Kalau sudah mati berarti aman. Nah yang bahaya kalau yang masih 'kelenger' ini. Dia bisa bermutasi menjadi kuman yang lebih kuat, yang nantinya tidak mempan lagi jika dikasih antibiotik yang sama," jelas Dokter Ayu.

"Kan tinggal ganti antibiotik saja, Dok?"

"Jenis antibiotik itu terbatas, Bu. Antibiotik terbaru ditemukan sekitar 13 tahun yang lalu. Jadi nggak bisa seenaknya ganti seperti itu, Bu."

Melihatku bengong, Dokter Ayu kembali melanjutkan penjelasannya.

"Saya pernah mendapati pasien dengan infeksi saluran kencing sama seperti Ibu. Dengan berbagai jenis antibiotik keluhannya tidak membaik. Setelah konsul spesialis, akhirnya diuji kultur, untuk mengetahui antibiotik apa saja yang masih sensitif. Dan hasilnya hanya tinggal satu saja yang mempan," Dokter Ayu berhenti sejenak, sebelum kembali melanjutkan.

"Obatnya bukan obat minum, tapi hanya tersedia dalam bentuk suntikan. Harus disuntikkan sehari 3 kali selama beberapa hari. Belum lagi harga obatnya yang jauh lebih mahal dari antibiotik yang di resep, Ibu. Sepuluh kali lebih mahal untuk sekali suntik."

"Ngeri ya, Dok?"

"Itu masih beruntung, Bu, masih ada yang mempan. Kalau sudah nggak ada lagi yang mempan, bagaimana?"

Aku bergidik, membayangkan 'anyang-anyangen' seumur hidup.

"Jadi nggak boleh nawar ya, Dok. Harus dihabiskan?"

"Iya, harus dihabiskan."

"Tapi untuk obat yang lainnya ini boleh diminum sesuai gejala saja, kan, Dok?" tawarku.

"Boleh ... kalau sudah baikan, yang lain boleh distop."

"Baik, Dok. Makasih banyak penjelasannya."

"Sama-sama. Oh ... iya, satu lagi, jangan lupa minum air putih yang banyak, minimal 3 liter sehari"

"Wow ... banyak sekali, Dok. Tapi saya usahakan, insyaallah."

Kuiyakan saja. Takutnya Bu Dokter menjelaskan lagi efek kurang minum dan bla bla seperti tadi, tambah bikin tidak bisa tidur nanti malam.

"Baiklah, Dok. Saya pamit dulu. Sekali lagi saya ucapkan terima-kasih."

Setelah menyelesai administrasi, aku meninggalkan klinik tersebut. Senang berobat di klinik ini, petugasnya ramah-ramah. Dan tiap pulang, bukan cuma bawa obat tapi juga pengetahuan baru.

END
****

Kritik dan saran sangat diharapkan. Isi, dialog, pemilihan kata mohon dibenarkan kalau ada yang kurang tepat. Makasih

20180326

Sabtu, 24 Maret 2018

Es Dan Kejujuran

"Ma ... aku minta maaf, ya," ucap Ayik sambil mencium punggung tanganku.

"Kenapa minta maaf? Ayik salah apa?" Aku meraih tubuh kecilnya ke pangkuan.

"Tadi Ayik beli es ..." Dia ragu melanjutkan.

Aku sedikit terkejut. Mulut ini rasanya gatal sekali ingin menyeramahinya.
Bagaimana tidak? Baru sehari dia sembuh dari batuk pilek dan sekarang sudah beli es lagi.

Kalau tau dia mau beli es, tentu aku tidak akan memberinya uang.

"Esnya sudah habis?" tanyaku. Bocah 4 tahun itu tidak terlihat membawa es.

"Masih, Ma. Ayik taruh di depan rumahnya nenek."

"Kenapa ditaruh di sana?" Aku sedikit penasaran.

"Kalau dibawa pulang, Ayik takut dimarahin, Mama?"

Lha?

"Kalau takut, kenapa cerita ke Mama?" Aku tambah penasaran.

"Mama kan pernah bilang, kalau Ayik jujur, Mama nggak akan marah."

Deg.

Aku kaget sekaligus terharu. Amarahku yang tadi sempat membuncah, tiba-tiba hilang seketika.

Aku dan suami, memang selalu mewanti-wantinya, agar senantiasa berkata jujur. Berbuat salah tidak apa-apa, karena jangankan dia yang masih bocah, kita yang sudah dewasa saja tidak selamanya lurus, banyak bengkoknya. Asalkan berani jujur mengakui kesalahan dan meminta maaf serta berjanji tidak mengulanginya, kami berjanji tidak akan memarahinya.

Kami berharap, saat dewasa kelak dia menjadi pribadi yang jujur dan pemberani, berani mengaku salah kalau memang salah. Tidak malah pura-pura menabrakkan diri di tiang listrik. Kasihan tiang listriknya.

(Ah ... nulis apaan sih, kok jadi tiang listrik kebawa-bawa)

"Mama sudah janji lho nggak akan marah," ujarnya menyadarkanku.

"Iya, Mama nggak akan marah. Tapi janji lho, nggak boleh beli es lagi, kalau tanpa ijin Mama!"

"Baik, Ma" Dia mengangguk sambil tersenyum ceria.

Tapi?

"Lha emang, Ayik nggak dimarahin sama nenek, kalau ketahuan beli es?" Neneknya sangat cerewet sekali kalau soal es. Bisa ngomel berhari-hari kalau sampai Ayik ketauan beli es.

Wajahnya nampak terkejut, seperti baru ingat sesuatu.

"Oh ... iya, dimarahin juga. Aduh ... gimana, Ma? Ayik ambil esnya dulu ya, Ma, sebelum Nenek lihat," ucapnya sambil turun dari pangkuan.

Tanpa menoleh lagi dia pun berlari menuju rumah nenek, yang berada tepat di sebelah rumahku.

Mamanya cuma bengong, lalu tersenyum melihat polah lucunya.

End
***
Mohon kritik dan sarannya, terutama dialog tagnya. Makasih.

Rabu, 21 Maret 2018

Menggambar Kupu-Kupu

"Ma ... Aku bisa menggambar kupu-kupu," seru Ayik sambil menunjukkan buku tulis yang dia fungsikan sebagai buku gambar.

"Mana? Coba Mama lihat!" Aku menggeser tempat duduk lebih dekat ke arahnya agar lebih jelas gambarnya.

Kulihat gambar kupu-kupu khas anak-anak. Bulatan besar sebagai kepala, disabung dengan gambar lonjong bergaris-garis sebagai badannya dan dua sayap di masing-masing sisinya.

Ada yang kurang.

"Mana antenanya?" koreksiku.

"Oh, iya. Ayik tambahin ya, Ma, gambarnya," ucapnya sambil mulai menggambar antena di kepala kupu-kupu. Tapi?

"Kok antenanya tiga?" tanyaku.

"Ini hantu kupu-kupu, Ma, jadi antenanya tiga," kilahnya. Kuiyakan saja.

"Oh ... iya, masih ada yang kurang lagi, Ma," ucapnya serius. Ayikpun mulai menggambar bulatan yang lebih besar di kepala kupu-kupu.

"Itu apa, Yik?" tanyaku penasaran.

"Jilbab, Ma," jawabnya.

"Katanya hantu, kok berjilbab?"

"Kan, hantu kupu-kupu sholihah," ucapnya tanpa dosa.

Ah ... sudahlah, anak-anak memang selalu benar.

Senin, 19 Maret 2018

Telur Palsu

"Ayo, Ma, beliin ...!" rajuk putri kecilku, Ratih.

"Yang lain saja ya?" bujukku.

Aku memeriksa barang-barang yang sudah masuk ke keranjang belanjaan. Sudah lengkap.  Kuletakkan keranjang tersebut di meja kasir.

"Nggak mau. Pokoknya mau beli yang itu." Rengeknya semakin menjadi dan bersiap-siap mengeluarkan jurus andalannya. Menangis.

Sudah sebulan ini Ratih ketagihan telur. Kalau telur ayam kampung biasa, tak masalah. Justru bagus untuk pertumbuhan. Masalahnya dia hanya mau makan telur yang dibeli di minimarket depan rumah. Tidak mau yang lain.
Aku jadi kewalahan, karena harga telur di sana jauh lebih mahal.

Anak-anak sebayanya pun mengalami hal yang sama. Kemarin pas arisan, ibu-ibu banyak yang curhat kalau anaknya juga mulai  ketagihan telur tersebut. Sangat membuat resah. Ditambah lagi, viralnya video telur palsu membuat kami semakin was-was.

Semua ibu tentunya sama, ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Lebih-lebih makanan. Kami tidak ingin anak-anak kami mengkonsumsi sesuatu yang membahayakan atau tidak jelas kandungannya.

Untuk kebutuhan telur, tentu saja lebih nyaman membeli langsung di peternak. Selain aman juga lebih segar dan hemat. Namun anak-anak agak susah dibuat mengerti.

"Tidak. Ibu bilang tidak ya tidak," tegasku.

Tangisnya semakin keras. Namun aku tak bergeming. Bukannya pelit, hanya ingin menjaga dan mengajari putri semata wayang, bahwa tidak setiap keinginan bisa didapat dengan menangis. Meski harus menahan malu menjadi pusat perhatian pengunjung yang lain, aku rela.

Kasir selesai menghitung belanjaan. Setelah membayar, aku segera menggendong putri kecilku keluar dari minimarket tersebut. Tak kuhiraukan dia yang masih meraung-raung sambil menunjuk makanan kesukaannya, si telur palsu yang berisi cokelat dan hadiah mainan di dalamnya. Kind*j*y.

Maafkan ibumu ya, Nak. Mudah-mudahan kelak kamu mengerti. Bahwa itu harganya mahal sekali. Bisa bocor tabungan ibu, Nak, kalau harus beli tiap hari.

********

Sabtu, 17 Maret 2018

Godaan Media Sosial

"Bang, whatsappnya ku-off-kan ya," ucapku seraya memencet tombol hapus instalan whatsapp di pengaturan ponsel pintar.

"Yakin? Nanti kalau teman-teman menghubungi bagaimana?"

"Kalau penting biar teleponlah, Bang"

"Kalau Abang pengen ngasih kabar harus telepon juga? Boros, Neng,"

"Alah, Bang ... kita kan kemana-mana selalu berdua, ngapain WA nan segala," kilahku.

Sejak menikah dua tahun yang lalu kami memang jarang berpisah, kemana-mana bersama. Bagaimana tidak sama-sama terus, wong saya kasirnya suami di toko.

"Iya juga ding,"

"Tapi kenapa dimatiin?" lanjutnya.

"Berat Bang, Eneng nggak kuat"

"Dilan lagi ... Dilan lagi, bosen ah"

Aku bukan penggemar Dilan. Tapi di timeline sosmed sering muncul tulisan teman-teman tentang Dilan. Jadi ikut-ikutan. Dan Bang Junaid sudah bosan rupanya kugombalin.

"Biasalah, Bang. Kebanyakan grup," kusebutkan alasan.

"Kan tinggal keluar, Neng. Gitu aja kok repot."

"Nggak enak, Bang. Grup yang paling aktif  grup keluarga. Kalau Eneng keluar, terus dicoret dari daftar ahli waris gimana?"

"Ahli waris? Terserah deh, suka-suka Eneng," ucap Bang Junaid sambil nyengir.

Kedua orang tua kami sudah lama meninggal, jadi ahli warisnya siapa ... entahlah.

"Yang penting Eneng sudah kasih tau ya, Bang. Jadi jangan kirim pesan sayang lewat WA, ke rekening Eneng saja"

Bang Junaid tambah nyengir.

***

Sudah lama sebenarnya ingin tidak tergantung lagi sama HP. Mau menon-aktifkan semua akun di media sosial. Banyak hal yang terlewatkan saat aku sibuk dengan kotak pintar ini. Acara-acara alay di TV misalnya. Nggak ding.

Dulu dalam sebulan bisa menamatkan baca qur'an sampai beberapa kali. Karena selalu ada qur'an kecil yang selalu menemani kemanapun pergi. Bisa dibaca kapan saja bila ada waktu luang.

Sekarang?

Ponsel sudah mengambil alih segalanya. Bahkan bukan cuma di waktu luang saja, disaat sibuk pun dicari-cari kesempatan biar bisa sejenak membukanya. Facebook, twitter, instagram, youtube, dan teman-teman menjadi magnrt kuat yang selalu menarikku untuk menengok.

Dan aku sungguh ingin lepas dari jeratnya.

Pertama BBM dengan mudah bisa dieliminasi. Karena tidak terlalu banyak teman yang memakainya. Kedua instagram dengan alasan yang sama, selain karena aku tak suka berfoto ria. Twitter aku tak terlalu pandai memakainya, jadi jarang buka. Keempat meskipun berat akhirnya whatsapp berhasil kuhapus juga.

Tidak ada masalah dengan whatsapp sebenarnya. Yang masalah banyaknya grup yang kuikuti. Grup keluarga, grup alumni, grup kajian dan grup-grup lain menggodaku untuk selalu membukanya. Tak sanggup rasanya minta ijin untuk left dari grup. Selain karena sungkan, pasti aku akan sangat merindukan mereka. Tapi kalau terus-terusan mantengin grup takutnya semakin membuat waktu terbuang sia-sia.

***

"Neng, Abang nemu cara biar bisa keluar grup tanpa ketahuan anggota grup lainnya," ucap suamiku sumringah.

"Emang bisa, Bang?"

"Bisa, mana HP mu?"

Aku pun menyerahkan kotak 5 inchi milikku.

"Kita perlu menyediakan nomor baru. Ini Abang sudah belikan," ucap Abang sambil membuka HPku dan memasukkan simcard yang baru dia beli. Kemudian menyalakannya kembali.

"Kita aktifkan whatsappnya"

Bang Junaid mengaktifkan kembali akun whatsappku. Setelah aktif,  ditekannya tombol titik 3 di pojok kanan atas. Selanjutnya kira-kira begini.

1. Buka pengaturan WA, kemudian kalau kita tidak ingin kehilangan chat sebelumnya kita cadangkan akun. Caranya setelah pengaturan klik tombol chatting - cadangan chat - cadangkan

2. Kembali ke pengaturan. Lalu klik tombol akun -ganti nomor- lanjut-isikan nomor baru dan nomor lama kemudian tunggu aktivasi.

3. Jika sudah teraktivasi, berarti akun WA kita udah sah ganti ke nomor yang baru.

4. Selanjutnya kita ke pengaturan ponsel, lalu hapus data whatsapp. Kemudian kita masuk lagi ke akun whatsapp dengan nomor yang lama.

"Lihat nih Ning, grupnya sudah hilang semua, kan!" seru suamiku sambil menunjukkan tampilan whatsappku setelah dia otak-atik.

"Iya ... grupnya hilang semua. Tidak bisa pilih-pilih grup yang mau dihilangkan ya, Bang?"

"Tidak bisa. Tapi daripada dioffkan, jauh lebih mendingan kan? Abang tidak perlu kebingunan menghubungi Eneng. Bisa bocor kantong Neng, kalau harus teleponan terus."

"Iya juga sih ... Abang cakep, deh. Pinter lagi," godaku.

"Seluruh negeri sudah mengakui itu, Neng," jawab Bang Junaid membusungkan dada.

Terserahlah. Yang penting masalah whatsapp teratasi. Alhamdulillah. Tinggal menguatkan hati untuk menghapus akun sosmed berikutnya. Facebook.

END
****

#Hanya_fiksi

Mohon kritik dan sarannya ^_^

Rabu, 14 Maret 2018

Anakku, Bukan Anakku?

"Dik, daripada kita saling berprasangka, bagaimana kalau kita ke dokter saja?"

"Iya, begitu lebih baik, Mas," jawab istriku. Tampak sekali mendung menggelayuti wajah ayunya.

Beberapa hari ini kami memang dihadapkan dengan masalah yang cukup rumit. Berawal dari hasil cek darah putra semata wayang kami, Rendra.

Rendra sakit panas. Sudah 4 hari panasnya tidak turun, meskipun sudah diberi penurun panas. Dokter menyarankan untuk dicek darah. Dikhawatirkan terkena demam berdarah, karena daerah kami memang sedang musim demam berdarah. Beberapa tetangga kami sudah banyak yang terkena.

Renda pun diambil darah untuk cek laboratorium. Kami meminta dokter sekalian memeriksa golongan darahnya. Sekedar ingin tau. Karena sampai umurnya 7 tahun, kami belum mengetahui golongan darahnya.

Hasil lab keluar. Alhamdulillah trombositnya normal. Yang lain-lain juga normal, hanya angka infeksinya yang agak naik. Dokter bilang tidak apa-apa. Hanya nanti dapat tambahan obat, antibiotik.

Kami pun pulang ke rumah dengan perasaan lega. Saking gembiranya karena Rendra tidak terkena DB, kami lupa menanyakan hasil golongan darahnya.

Setelah istirahat sebentar, iseng-iseng aku buka hasil golongan darah Rendra. Golongan darahnya O.

O?

Kok bisa?

Golongan darahku A, sementara Maya, istriku B. Kenapa anak kami bisa O? Jangan-jangan?

Berbagai prasangka pun muncul. Mulai dari istri yang tidak setia sampai kemungkinan anak kami tertukar waktu di rumah sakit.

Tidak sanggup aku membayangkan keduanya. Sama-sama sakit.

Maya yang meskipun agak cerewet, tapi dia gadis baik. Aku mengenal dan bersahabat dengannya sejak kecil, karena rumah orang tua kami berdampingan.  Dan tak pernah sekalipun terdengar desas-desus yang tak menyenangkan tentangnya. Aku percaya, Maya tak mungkin serong. Tapi? Ah ....

Rendra lahir setelah 2 tahun pernikahan kami. Dia memiliki garis wajah yang sama dengan Maya. Hanya kulitnya yang agak berbeda. Aku dan istri berkulit terang, sementara anak kami agak gelap. Mungkinkah?

***
Setelah 3 hari meminum obat dari dokter, alhamdulillah Rendra membaik. Panasnya sudah turun dan mulai ceria kembali. Aku pun memberanikan diri berbicara dengan istri. Mungkin ini akan menyakitinya, tapi aku tak kuasa kalau harus memendam kegelisahan lebih lama.

Istriku tampak kaget mendengar penjelasanku. Dia termenung beberapa saat. Gurat sedih tampak di raut wajahnya.

Saat aku mengajaknya ke dokter untuk berkonsultasi, dia pun mengiyakan.

***

"Bagaimana Pak, Bu? Rendra masih panas?" tanya Dokter Bagus, dokter langganan kami.

"Alhamdulillah sudah sehat, Dok. Sudah bermain lagi seperti biasa," jawabku.

"Begini Dok, kami mau menanyakan hasil golongan darahnya," ucap istriku tidak sabar.

"Kemarin hasilnya sudah diterima kan, Bu?"

"Iya, Dok. Itu yang membuat kami bingung?" Aku mengambil alih pembicaraan.

"Bingung kenapa? Coba jelaskan lebih rinci?"

"Golongan darah saya A, golongan darah istri saya B. Kenapa anak saya O, Dok? Apa mungkin ada yang salah saat pemeriksaan?" tanyaku hati-hati.

Dokter Bagus tersenyum. Tidak tampak marah atau tersinggung. Dia pun mengambil selembar kertas dan pulpen.

"Begini Pak, Bu. Saya bisa menjelaskan kenapa golongan darah anak O sementara orangtua A dan B," Dokter Bagus mulai menjelaskan sambil mencorat-coret kertas yang tadi diambilnya.

"Kode genetik golongan darah adalah seperti ini :

A --> IaIa (A kuat) dan IaIo (A lemah)

B ---> IbIb (B kuat) dan IbIo (B lemah)

Jadi bila orangtua golongan darahnya A dan B, seperti Bapak dan Ibu, si anak bisa memiliki golongan darah A, B, AB atau O. Darimana dapatnya, kita silangkan.

Jika keduanya kuat (A&B kuat), golongan darah anaknya kemungkinan hanya AB

IaIa >< IbIb --> IaIb (AB)

Kalau yang satu kuat yang satu lemah golongan anaknya bisa AB, A, atau B.

IaIa >< IbIo --> IaIb (AB), IaIo (A)

IaIo >< IbIb --> IaIb (AB), IbIo (B)

Kalau sama-sama lemah, golongan darah anaknya bisa AB atau O

IaIo >< IbIo ---> IaIb (AB) dan IoIo (O)"

Kami berdua melongo mendengar penjelasan dokter, tidak terlalu mengerti. Yang kami tangkap hanya satu, bahwa tidak ada yang salah dengan golongan darah Rendra. Dia betul-betul putra kami.

"Sudah mengerti Pak, Bu?"

"Su ... sudah, Dok,"

"Jadi kemungkinan kami termasuk yang terakhir ya, Dok? Sehingga anak kami golongan darahnya O?"

"Betul."

"Makasih sekali ya, Dok. Kami lega sekarang."

"Syukurlah. Ada yang bisa dibantu lagi?"

"Tidak ada, Dok. Sudah cukup. Sekali lagi kami mengucapkan banyak terima kasih."

"Sama-sama. Itu sudah menjadi kewajiban saya, Pak."

Setelah menyelesaikan administrasi, kami pulang dengan perasaan lega. Beban berat selama beberapa hari ini lepas sudah. Tak perlu kuragukan lagi kesetiaan istri tercinta dan status buah hati kami. Rendra benar-benar darah dagingku.

"Alhamdulillah ya, Dek. Maafin Mas ya, Dek, sudah sempat berprasangka jelek" ucapku setelah sampai di rumah.

"Berprasangka jelek ke Maya? Mas pikir Maya selingkuh?" cerocos istriku.

Ah ... alamat dapat omelan lagi nih.

"Mas, sejelek-jeleknya Mas, naudzubillah kalau sampai Maya selingkuh ... Maya masih takut dosa Mas"

"Sebentar, sebentar ... jadi menurut Adik, Mas ini jelek?"

"Ih ... keceplosan" ujar istriku sambil senyum-senyum jail.

"Tapi Dik Maya suka, kan?" godaku.

"Terpaksa." Ucapnya tanpa dosa.

Ah ... aku tau istriku cuma bercanda. Tak mungkin dia lupa, bahwa suaminya ini mantan cover boy. Cover boy majalah satwa.
(Maaf becanda pemirsa, eh pembaca).

Sabtu, 10 Maret 2018

Celoteh si Kecil

Sejak sakit beberapa minggu yang lalu, tak tahu kenapa Ayik sering sekali bertanya begini, "Ma ... kalau Ayik sakit, Mama sedih nggak?"

Aku nggak tahu apa yang ada dipikiran bocah 4 tahun itu. Mungkin karena dilihatnya mukaku datar saja saat dia sakit, sampai-sampai meragukan perasaan mamanya. Entahlah.

Menghadapi orang sakit tiap hari, membuatku harus belajar menahan diri agar tidak berekspresi berlebihan terhadap berbagai model penyakit dan orang sakit. Dari yang lempeng saja, sampai yang teriak-teriak memilukan. Dan itu kebawa sampai di rumah. Kalau ada keluarga yang sakit, batuk pilek atau sakit ringan lainnya, aku memang terkesan cuek. Tapi bukan berarti tidak sedih atau tidak perhatian, hanya terbiasa menahan diri saja.

"Ya sedih ... wong anak orang lain sakit saja Mama sedih, apalagi anak Mama sendiri yang sakit"

Dia nampak puas dengan jawabanku. Tapi tiap ngobrol atau lagi main, pertanyaan itu tak pernah absen dari daftar tanya. Memang kebiasaannya menanyakan sesuatu berkali-kali. Apalagi jika itu dianggap menarik.

Seperti hari ini dia pun menanyakan pertanyaan yang sama.

Ceritanya ban sepeda motor suami bocor waktu pulang dari klinik tempatku praktik. Suami mencari bengkel untuk menambal ban dan meminta kami untuk menunggu di dalam klinik saja. Tapi Ayik rewel minta pulang. Dibujuk tidak mempan. Tangisnya tambah keras. Akhirnya kuiyakan dengan perjanjian.

"Oke ... kita pulang jalan kaki, tapi Ayik tidak boleh minta gendong kalau capek ... setuju?"

Saat anak merajuk, tidak kubiasakan membujuknya dengan iming-iming hadiah atau menakutinya dengan sesuatu. Takut nanti jadi kebiasaan saat besar. Dan tidak efektif menurutku. Karena biasanya makin lama permintaannya makin aneh-aneh dan susah dipenuhi. Dengan perjanjian, selain tidak membiasakan anak manja juga bisa mengajari anak bertanggung jawab, minimal terhadap janjinya.

"Setuju, Mama" tangisnya langsung berhenti.

Menempuh jarak berkilo-kilo dengan jalan kaki sudah biasa kulakukan sejak kuliah. Kalau cuma dari klinik ke rumah yang hanya 2 kilo tidak masalah. Tapi buat Ayik, ini baru pertama kali.

Tiap berapa meter aku tanya, apa dia capek. Tidak katanya. Dan dia tampak senang sekali. Dan pertanyaan favoritnya kembali terlontar.

"Ma, kalau Ayik sakit, Mama sedih nggak?"

"Ya sedih dong"

"Lha kenapa, Ma"

"Kan Ayik anaknya Mama" jawabku otomatis.

Dia kembali menikmati perjalanan dan terus bercakap. Tapi tiba-tiba dia berhenti.

"Mama ... awas ada truk besar!" teriaknya. 

Kulihat dia tampak khawatir sekali. Jalan raya yang kami lalui memang cukup ramai siang itu. Banyak truk-truk pengangkut pasir berlalu-lalang.

"Nggak apa-apa, Sayang ... kita kan jalannya di pinggir"

"Ke sini Mama, lebih ke pinggir lagi, nanti Mama tertabrak" ucapnya sambil menarik tanganku.

"Kalau Mama tertabrak nanti Ayik sedih" lanjutnya.

"Kenapa sedih?" tanyaku iseng.

"Kan Ayik anaknya Mama"

Aku diam, menunggu dia melanjutkan celotehnya.

"Kalau Ayik sakit Mama sedih, kan ... kalau Mama sakit Ayik juga sedih, Ma"

Ada cairan hangat yang hendak menerobos keluar dari sudut mata. Terharu. Tak menyangka, bayiku bisa bilang seperti itu. Ingin kupeluk dia saat itu juga.

Tapi tidak. Habis dipeluk pasti dia mau lebih. Masih separuh perjalanan. Dan berjalan kaki di tengah terik matahari dengan menggendong bocah 15 kilogram sepertinya bukan ide yang menyenangkan. ^_^

Syarat Pranikah

"Udah ada calonnya, Bang?" godaku saat melihat Bang Halim, suamiku sedang asyik main Hp sambil senyum-senyum.

"Calon apa?"

"Calon madu buat Eneng"

"Emang Eneng sudah siap?"

"Siap nggak siap sih"

Ntah kenapa seperti ada belati yang menyayat saat aku mengucapkan itu. Masih segar diingatan saat proses ta'aruf dengan Bang Halim 7 tahun yang lalu.

**

Bang Halim adalah ketua rohis kampus. Pemahaman agamanya terkenal paling bagus diantara teman yang lain. Tercermin dalam setiap perilaku. Hampir tak ada desas-desus atau testimoni jelek tentang dirinya. Kemandirian dalam mengelola bisnis di sela-sela padatnya jadwal kuliah, menambah nilai plus.

Teman-teman banyak yang diam-diam mengidolakan Bang Halim dan berharap bisa bersanding dengannya. Dan bagai kejatuhan bulan saat dia memilihku. Meski dengan syarat yang tak mudah.

"Ada satu hal yang ingin saya katakan sebelum Ning Zahra menjawab lamaran Abang"

"Iya silakan, Bang" jawabku tanpa berani menatapnya.

"Seandainya suatu saat Abang diberi kemampuan, Abang ingin poligami. Dan Abang harap siapapun calon Abang, bisa menerima dan mempersiapkan hal itu"

"Itu syarat Abang"

Meski bukan aktivis dakwah, sedikit banyak aku mengerti hukum poligami. Memang hak laki-laki memiliki lebih dari satu istri dengan syarat bisa adil. Dan aku mengamini hak kaum lelaki tersebut, karena sudah tersurat di kitab suci.

Beda teori beda praktik. Mengerti bukan berarti siap menjalani. Saat perkara itu menghampiri, ternyata sungguh berat hati ini menerima. Bibirku kelu untuk menjawab. Hingga untuk beberapa saat aku hanya termangu.

"Bagaimana, Neng? Bisa menerima persyaratan Abang?"

"Boleh saya istikharah dulu?"

Aku butuh menenangkan pikiran, sebelum memberi keputusan.

"Baiklah Neng, Abang akan menunggu. Sampai berapa lama?"

"Tiga hari"

"Oke, Saya menunggu jawaban Eneng 3 hari lagi."

Selama 3 hari tersebut selain sholat istikharah, aku kembali membaca buku-buku tentang poligami dan mendatangi kajian yang kebetulan membahas tentang hal tersebut. Dan tentu saja berdiskusi dengan keluarga besar. Bagaimanapun ini bukan saja menyangkut kami berdua, tapi juga seluruh keluarga.

Banyak pro dan kontra dari keluarga, tapi suara teduh bapak, memantapkan hatiku untuk menentukan pilihan.

"Poligami adalah bab tertinggi dalam pernikahan. Saat memasuki pernikahan, memang sudah seharusnya kamu mempersiapkannya, memperiapkan ilmu dan hati. Terlepas dari ada tidaknya persyaratan dari calon suami. Agar nanti jika takdir membawamu harus melaluinya, kamu tidak akan kecewa dan naudzubillah, sampai mengharamkan sesuatu yang dibolehkan oleh Allah" ucap bapak kala itu.

**

"Bismillahirrohmanirrohiim. Insyaallah aku menerima syarat dari Abang ... tapi saya juga punya satu syarat,"
ujarku saat pertemuan 3 hari kemudian.

"Apa itu, Neng?" tanyanya antusias.

"Saat Abang kelak siap untuk menikah lagi, saya ingin dilibatkan dalam memilih calonnya"

Dia tampak berpikir sejenak.

"Baiklah ... Abang menerima syarat dari Neng Zahra . Jika kelak Allah menakdirkan Abang nikah lagi, Enenglah yang akan memilihkan calonnya untuk Abang."

**

Ucapan terakhir saat proses lamaran itulah yang selalu kupegang. Aku tidak menyukai kejutan. Meski dari awal sudah mempersiapkan hati dan mental, tapi tetap saja hati ini tidak akan kuat jika Bang Halim secara mendadak mengajukan calonnya.

Dan melihat Bang Halim beberapa hari ini asyik sendiri dengan ponselnya, bahkan sering mengabaikanku dan anak-anak, membuat kecemburuan menelusup di kalbu.

"Beneran, Abang ingin menikah lagi?" tanyaku menegaskan.

Bang Halim meletakkan ponselnya.

"Menurutmu, Abang sudah siap belum?"

"Kok balas bertanya sih?" tanyaku semakin dag dig dug menunggu jawabnya.

Bang Halim tampak menghela napas. Kemudian menarikku ke dalam pelukannya.

"Ingat tidak Neng, doa yang diucapkan teman-teman dan keluarga dihari pernikahan kita?"

"Doa agar kita sakinah mawaddah wa rahmah ya, Bang?

"Betul ... Eneng tau artinya?"

"Sakinah tentram, mawaddah penuh cinta, warahmah kasih sayang"

"Pinter ... itulah cita-cita Abang Neng, memiliki keluarga yang tentram, penuh cinta dan kasih sayang dalam keridhoan-Nya"

"Dan Abang berterima-kasih sekali, selama ini Eneng sudah menemani, menjadi istri yang sempurna buat Abang serta ibu yang baik buat dua buah hati kita, Hanif dan Latif"

Kami berdua terdiam.

"Belum mau nambah lagi kan, Bang?"

"Abang masih merasa cukup dengan keluarga kecil ini bidadariku"

"Beneran? Abang tidak akan sembunyi-sembunyi pacaran lagi kan?"

"Astagfirullahaladziiim ... ya tidaklah, Neng. Abang masih takut dosa"

"Abang masih ingat janji Abang, kan?"

Bang Halim mengeratkan pelukkannya.

"Neng, Abang mau menceritakan rahasia"

"Rahasia apa?"

"Dulu sebelum menikah, Abang pernah melihat seorang akhwat begitu berapi-api membela poligami saat berdebat dengan temannya."

"Abang suka sama akhwat itu? Akhwat itu ya, yang sering Abang ajak chat akhir-akhir ini?" cerocosku.

"Iya, Abang menyukainya"

Aku melepaskan pelukan Bang Halim. Airmata mengalir tanpa bisa kucegah.

"Dan saat mengkhitbahnya, Abang ingin menggodanya dengan sedikit ujian."

Mendengar suamiku sudah mengkhitbah gadis lain tanpa sepengetahuanku membuat hatiku seakan terlepas dari tempatnya.

"Ja ... jadi Abang sudah mengkhitbah akhwat itu? Siapa namanya Bang?" Airmata semakin deras mengalir.

"Sudah Abang Khitbah 7 tahun yang lalu. Namanya Zahra Ayu Sinta."

Rasanya beban seberat gunung terlepas dari pundakku. Dengan rasa lega dan sedikit sebel, kupeluk kembali Bang Halim.

"Abang ini, suka sekali jahilin Eneng," rajukku sambil memcubit pelan lengannya.

"Habisnya, Eneng cemburuan, sih"

"Itu kan karena Eneng sayang"

"Makasih ya, Bang sudah jadi Imam yang baik buat Eneng" lanjutku semakin membenamkan kepala di dadanya.

Tak terasa embun di mataku berubah menjadi anak sungai yang mengalir tak terbendung. Airmata bahagia yang menghapus segala prasangka.

"Tapi kalau ada teman Eneng yang sholihah, baik hati syukur-syukur cantik kayak Syahrini, boleh dong di ta'arufkan ke Abang" Bang Halim kembali menggodaku.

"Ada sih, Bang ... sholihah, baik hati dan mirip Syahrini" timpalku.

"Betulan Neng? Kok Abang tidak pernah tau?"

"Itu Bang yang tiap pagi jualan jamu di depan rumah?"

"Itu mah Nenek Suhrini"

"Abang mau? Beliau kan sudah janda, Bang. Kalau mau besok Eneng lamarkan"

"Yang lebih tua lagi ada tidak, Neng?"

Aku tertawa cekikikan melihat Bang Halim melepaskan pelukannya dan ngeloyor ke belakang sambil bersungut-sungut.

END
*******

Mohon maaf mengangkat tema ini lagi. Bila tidak berkenan dengan kontennya, mohon abaikan saja. Tapi krisan untuk cara penulisannya sangat dinantikan. Makasih.

Rabu, 07 Maret 2018

Senyuman Terakhir

Kutatap pria di hadapanku. Masih sama seperti saat terakhir bertemu, 10 tahun yang lalu. Badannya memang terlihat lebih tegap dan berisi, tapi wajah itu masih sama, wajah bayi yang sering membuat gemas untuk mencubit. Rambut ikalnya tampak lebih rapi dengan potongan cepaknya. Kulitnya masih sama, meski sekarang tampak lebih pucat. Dan senyum di bibirnya, masih teduh dan membuat hati ini berdebar.

Dia adalah Galih, cinta pertamaku. Kakak kelas di SMA. Kami pertama kali bertemu saat MOS, Masa Orientasi Siswa.

Galih adalah petugas PMR yang merawatku saat aku pingsan pada upacara penutupan MOS. Waktu itu cuaca cukup panas. Matahari seakan tepat di atas kepala. Aku memang memiliki fisik yang lemah. Memulai aktivitas dari ba'da subuh dan diakhiri upacara tengah hari membuatku tak sanggup bertahan. Hingga aku pun tak sadarkan diri.

Begitu sadar aku sudah di ruangan yang khas dengan bau alkoholnya. Di UKS. Saat membuka mata aku agak terkesima. Kalau tidak melihat dia pakai celana panjang, pasti aku sudah mengira dia perempuan. Cantik. Bulu matanya yang lentik, bibirnya yang penuh dan kemerahan kontras dengan kulitnya yang putih bersih tak berjerawat.

"Alhamdulillah sudah sadar," ucapnya saat itu. Suaranya tegas, tidak sesuai dengan penampakannya yang terlihat feminim.

"Gimana kondisimu, Dek? Masih pusing?"

"Ti ... tidak, Kak." Aku hendak bangkit dari tempat tidur. Tapi dia menahan.

"Kamu istirahat dulu saja di sini. Berani sendiri, kan?"

Aku mengangguk.

"Aku akan kembali ke lapangan upacara dulu, berjaga lagi"

"I ... iya, Kak"

Aku mengikuti langkahnya yang berlalu meninggalkanku di ruang 3x4 ini. Dia cukup tinggi. Kalau aku di sampingnya, mungkin hanya sebahunya. Cara berjalannya tegap. Sekali lagi tak terkesan seperti banci.

Dan tak tau mengapa, ada getaran halus mulai menyusup di dada.

Sejak saat itu aku selalu memperhatikannya. Diam-diam. Dari teman, aku tau namanya. Waktu itu sosial media belum seperti sekarang. Hingga agak susah mencari tau sesuatu tentang dia. Setidaknya dari hasil stalking, aku tau kelasnya, hapal teman-temannya, hapal jam dia datang ke sekolah, makanan kesukaannya saat ke kantin pun tak luput dari perhatianku. Bahkan pernah suatu kali aku mengikutinya diam-diam saat dia pulang sekolah karena ingin tau di mana rumahnya.

Sering kami berpapasan di koridor sekolah. Jangankan menyapa, bahkan menatap langsung wajahnya aku tak sanggup. Hatiku berdegup kencang. Kadang sampai takut kalau- kalau jantungku terloncat keluar. Saat sudah agak jauh, baru aku berani menoleh menatap punggungnya. Tak jarang dia pun melakukan yang sama. Dan itu saat-saat yang selalu kunantikan. Karena dia akan tersenyum manis padaku, senyum yang sampai kapan pun akan selalu kuingat.

Sampai dia lulus, hanya sebatas itu hubungan kami. Tidak ada yang berani memulai. Perasaanya ke aku pun belum pasti. Tersenyum setiap bertemu tidak lantas menunjukkan kalau dia ada hati padaku.

Aku juga cukup tau diri. Apalah diri ini. Dari segi apapun tidak ada yang bisa di tonjolkan. Wajah biasa. Prestasi juga menengah ke bawah. Serba biasa. Sementara Galih? Memang dia tak seperti Riko si jago basket yang sering dielu-elukan teman-teman cewek, atau Arda yang selalu jadi pusat perhatian karena wajahnya yang bak artis ibukota. Tapi ah ... tetap aku merasa tak layak untuknya.

Setelah lulus, dia melanjutkan kuliah kedokteran di salah satu universitas negeri di Semarang. Sesuai dugaan. Kesenangannya membantu sesama, keaktifannya di PMR, tak mengherankan kalau dia mengambil jurusan itu.

Keluarganya pun pindah. Tak tau pindah kemana. Semenjak itu, aku tidak pernah lagi mendengar kabar beritanya.

Selepas dia pergi, hatiku terasa kosong, sepi. Seperti ada yang tercabut. Semangat belajar pun menurun. Hingga beberapa kali mendapat teguran dari wali kelas, karena nilai semakin jeblok. Untung aku punya sahabat baik yang selalu menyemangati, Nia. Dialah yang menyadarkan diri ini, untuk tak berlarut-larut dalam kesedihan.

"Kalau kamu ingin bertemu lagi dengan Galih, kamu harus jadi orang sukses, Vira. Percuma bertemu, kalau akhirnya hanya jadi bayang-bayang saja. Kamu harus sejajar, biar bisa bersanding dengannya."

Kata-kata Nia begitu membekas. Aku mulai menata hidup. Belajar keras menyusul ketertinggalan. Hingga peringkat di sekolah pun mulai merangkak naik. Puncaknya aku memperoleh NEM tertinggi se-kabupaten saat ujian akhir.

Dengan bekal itu, aku memberanikan diri mendaftar di Kedokteran. Tapi takdir belum berpihak. Aku memang diterima di kedokteran. Bukan di kota yang sama dengan Galih menimba ilmu, tapi di Surabaya.

********

Kesibukan kuliah dan hadirnya teman-teman baru tak sedikit pun membuatku melupakannya. Senyum manisnya selalu menghantui, terutama saat sendiri. Banyak organisasi kuikuti, demi untuk mengusir kerinduan yang menyayat hati.

Hingga hari ini, setelah satu dekade berlalu, tanpa sengaja takdir kembali mempertemukan kami.

Tiga orang laki-laki tampak  menggotong seseorang memasuki UGD tempat aku sedang bertugas.

"Kenapa ini, Pak"

"Tabrak lari, Dok"

Segera kuminta pasien dibaringkan di bed yang kosong. Pasien tidak sadarkan diri. Tubuhnya penuh luka.  Tampak luka robek yang cukup lebar di kepalanya. Darah menutupi sebagian besar wajahnya.

"Bagaimana Dok? Apa masih bisa diselamatkan?" tanya salah satu lelaki pengantar yang paling tua diantara mereka.

Kuperiksa nadinya, tak teraba.  Napas tak berhembus. Kuarahkan stetoskop ke dada kirinya, tak terdengar detaknya. Nadi besar di lehernya pun sama. Sudah berhenti mengalunkan iramanya. Kuambil senter untuk melihat pupilnya, barangkali masih ada tanda-tanda kehidupan di sana. Nihil.

Dan saat itulah aku menyadari sesuatu saat melihat bibir dari pria yang sudah tak bergerak itu.

Orang yang terbaring di depanku ini adalah Galih. Iya, Dia Galihku. Orang yang begitu sangat kurindukan. Yang kepadanya ingin kukatakan, aku sudah jadi dokter sekarang, dan cukup percaya diri seandainya bertemu lagi dengannya. Percaya diri untuk mengungkapkan perasaan yang lama terpendam. Cukup percaya diri pula menerima, seandainya dia tidak merasakan rindu yang sama, atau dia sudah menikah dengan yang lain.

Sudah kusiapkan diri menerima segala kemungkinan. Dari yang indah sampai yang terpahit sekali pun. Namun sungguh, aku tak pernah menyiapkan diri untuk pertemuan setragis ini. Bertemu saat dia jangankan mengingatku, melihatku pun tak bisa. Galihku pergi untuk selamanya. Pergi dengan senyum tersungging di bibir. Meninggalkanku dengan kiamatku.

END
********

Maaf sudah lupa rasanya cinta-cintaan zaman SMA. Jadi sedikit bingung menggambarkannnya. Mohon saran dan masukannya.

NGK, 08032018

Senin, 05 Maret 2018

Kasur Keberuntungan

"Bang, kasur ini dibuang saja, ya? Bau"

"Hei, kasurnya masih empuk, masih bagus, Neng. Sayang kalau dibuang"

"Apanya yang bagus, Bang? Sudah sobek-sobek begitu"

"Abang bilang jangan, nanti Abang perbaiki"

Kalau suami sudah bilang seperti itu, aku hanya bisa terdiam. Bukannya manja. Tapi menurutku, kasur yang biasa kami gunakan untuk istirahat di warung ini memang sudah tidak layak pakai. Kainnya sudah compang-camping dan rapuh. Sobek-sobek pada kain pelapisnya membuat debu mudah masuk sampai ke spon-sponnya, sehingga susah dibersihkan. Sebenarnya bisa disiasati dengan sering-sering mengganti seprei. Tapi suami tak suka pakai seprei. Katanya panas. Bau debu dan keringat menciptakan aroma tersendiri, yang kadang bikin perut sedikit mual.

Sebenarnya bukan masalah suami tak ada uang. Hasil warung nasi pecel kami cukup lumayan. Sangat mudah menyisihkan sedikit uang untuk membeli kasur yang baru. Tapi suami tetap bersikeras tidak mau menggantinya.

Kasur itu adalah hadiah dari mertua, saat kami mulai meyewa ruko tempat berjualan ini. Sudah demikian keadaannya saat pertama dikasih. Dalam hati sebenarnya agak keberatan menerima. Tabunganku masih cukup kalau hanya untuk membeli kasur yang sederhana. Lagian tanpa kasur pun tak apa. Kami di ruko cuma siang hari, malam hari pulang ke rumah. Jadi tidak terlalu bermanfaat juga. Andai mau istirahat atau menginap, bisa pakai tikar biasa.

Tapi untuk menghargai mertua, aku cuma diam.

"Ini tuh kasur keberuntungan. Ada doa ibu di sana"

"Bukan kasurnya, Bang yang bawa keberuntungan. Tapi do'a Ibunya. Biar tanpa kasur itu lho, do'a Ibu tetap manjur. Lagian bergantung pada benda, bisa jadi jatuhnya ke syirik lho, Bang"

"Abang tak mau ganti pokoknya. Lagian jangan sampai kita bertengkar hanya gara-gara kasur. Tidak lucu"

Aku lagi-lagi mengalah.

********
Beberapa hari ini warungku bau kotoran tikus. Sumbernya apalagi, kalau bukan dari kasur kesayangan Bang Lukman, suamiku. Sudah dibersihkan dan dijemur, tapi baunya tetap nempel. Aku kembali merajuk.

"Bang, diganti saja ya? Bau! Tak enak sama pelanggan."

"Bukan salah kasurnya, kamu saja yang kurang bener bersihinnya"

"Neng capek, Bang. Tidak punya cukup waktu bersih-bersih. Kan Abang tau sendiri, pelanggan datang tak berhenti-berhentinya"

"Lagian tak enak, Bang kalau baunya sampai tercium pembeli. Mau bilang apa mereka, warung makan kok bau kotoran tikus, jorok" lanjutku sebal.

Bang Lukman menghela napas.

"Kalau tidak mau membelikan juga tak apa-apa. Tiduran di lantai Eneng juga tak keberatan"

Bang Lukman tampak berpikir.

"Baiklah nanti siang, Abang belikan yang baru. Tapi jangan diapa-apain dulu kasur itu" putusnya.

"Abangku sayangku cintaku ... Abang emang paling baik deh sedunia. Makasih, Bang, ya" Aku gembira tak terkira mendengar keputusannya. Akhirnya setelah sekian lama, luluh juga.

******

Malam itu, kami pulang ke rumah dengan badan yang sangat letih. Hari ini pembeli ramai sekali. Ditambah, tadi siang sempat ditinggal Bang Lukman ke kota membeli kasur lipat seperti keinginanku. Membuatku benar-benar kuwalahan.

Kubuka pintu kamar. Ingin rasanya segera merebahkan diri sebentar, untuk menghilangkan kepenatan di badan. Tiba-tiba penghiduku mencium sesuatu. Bau yang sangat familiar. Bau kasur kesayangan suami.

"Abaaaaang ... kenapa kasurnya ditaruh di sini?" Kasur itu ditupuk di atas spring bed kami.

"Kan Abang sudah bilang, ini tuh kasur kasur keberuntungan, tidak tega Abang membuangnya. Abang taruh di kamar biar kita makin rukun, Sayang"

Aku sudah tak sanggup lagi berdebat. Badan yang letih, bau kamar yang begitu menyengat serta alasan yang tak masuk dari Bang Lukman membuat kepalaku pusing berputar. Matapun berkunang-kunang dan akhirnya menggelap. Pingsan.

END

*********

Maaf agak belepotan cerpennya. Mohon kritik dan masukkannya.

NGK, 06032018

Sabtu, 03 Maret 2018

Gosip

"Is, Ibumu tidak pernah kamu kasih uang, ya?" cerocos Tante Narti begitu masuk rumah.

Aku masih loading, belum mengerti apa yang dibicarakan.

"Kamu itu sebagai anak sulung, harusnya paham kebutuhan orang tua. Kasih kek tiap bulan rutin berapa. Biar mereka senang"

Masih bengong.

"Itu mungkin yang bikin Ibumu sakit tak sembuh-sembuh, gara-gara kepikiran punya anak yang nggak berbakti kayak kamu"

Deg! Apa-apaan ini?

Sebulan ini ibu memang sakit. Lemes, seperti tidak ada tenaga. Dokter bilang gula darahnya tinggi. Obat sudah rutin diminum, tapi belum ada tanda-tanda akan pulih. Sudah coba cari second opinion dari dokter spesialis lain, hasilnya tetap sama.

Dan Tante bilang, itu karena aku?

"Kenapa Tante berkesimpulan seperti itu? Sekejam itukah aku menurut Tante?"

"Mbak Lastri memang tidak pernah cerita ke Tante. Tapi kata Bu Mus, Ibumu pernah bilang ke dia kalau takut minta uang ke kamu?"

Bu Mus? Seingatku Ibu tak pernah main-main ke rumah tukang gosip itu.

"Lalu, Tante percaya begitu saja sama Bu Mus? Dan menuduh yang tidak-tidak ke keponakan sendiri?"

"Lha terus, apa coba yang bikin sakit Ibumu tak sembuh-sembuh kalau bukan karena pikiran?"

"Tante tanya langsung saja deh ke Ibu, benar tidak yang Tante tuduhkan. Benar tidak aku setega itu sama orangtua, jangan ke orang lain yang tidak tau apa-apa."

"Mana mungkin Ibumu cerita ... sejelek-jeleknya kamu, pasti dia lindungi"

Kuping ini rasanya seperti terbakar. Panas. Setan di sebelah kiriku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangan. Kalau tidak ingat dia saudara kandung Ibu ... huufff.

Iya, Tante Narti adalah adik perempuan Ibu. Rumahnya tepat di sebelah rumah kami. Orangnya memang sedikit cerewet. Suka ikut campur urusan orang. Ditambah lagi, sukanya nongkrong sama Bu Mus, yang tidak tau kenapa, selalu ada saja bahan gosipnya.

Biasanya tak pernah kudengarkan kata-kata Tante yang memang sering di luar batas kewajaran. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tapi kali ini perkataannya betul-betul menyakitkan.

Setelah Ayah pensiun, aku yang menjadi tulang punggung keluarga. Termasuk membiayai adik bungsu, yang saat ini kuliah di Kedokteran. Kerja apa saja aku lakukan agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Yang penting halal. Kebutuhanku kunomor-sekiankan, yang penting orang tua dan adik tidak kekurangan. Termasuk menikah. Dengan rela kutunda, setidaknya sampai adik lulus kuliah.

Dan tiba-tiba saja, ada yang bicara seperti itu? Bagaimana aku tidak meradang?

"Apa aku harus bikin catatan pengeluaran harian, biar Tante tau kemana uang gajiku aku habiskan?" ucapku semakin jengkel.

"Kalau memang tidak seperti itu ya alhamdulillah ... Tak usah marah begitu juga kali. Tante kan hanya mengingatkan" ucapnya tanpa dosa.

Aku semakin geram.

"Tante, kalau boleh kasih saran ya, jangan terlalu banyak bergaul dengan Bu Mus ... orang sekampung juga tau siapa dia. Jangan sampai Tante ikut-ikutan kena cap tukang gosip oleh masyarakat"

"Bu Mus itu orangnya asyik, tidak kayak kamu tukang marah"

"Tante pulang dulu deh, mau angkat jemuran."

"Tante aku belum selesai bicara ...!"

Dia ngeloyor pergi, tidak
peduli. Meninggalku dengan hati yang masih membara.

Kucoba menenangkan diri. Baper kepanjangan pun percuma. Rugi sendiri. Memang seperti itu sifatnya Tante. Mungkin itu caranya menunjukkan perhatian. Meski dengan cara yang agak berbeda. Aku saja yang harus pinter-pinter menjaga hati.

Kalau dipikir dengan hati yang sedikit jernih, mungkin ada benarnya juga perkataan Tante. Bisa jadi ini teguran  buatku. Tanpa sadar masih hitung-hitungan sama orangtua. Belum ikhlas sepenuhnya.  Buktinya masih marah, saat ada yang mengungkitnya.

Kubaca istighfar berkali-kali. Ambil nafas panjang dan hempaskan. Lalu kubuka kotak pintar, searching online shop langganan. Cuci mata lihat gamis-gamis cantik. Biar hati sedikit lebih adem.

Lihat-lihat doang sih, belinya nanti, kalau celengan ayamku sudah menetas.

*******
Hanya fiksi. Maaf jika terkesan seperti curhatan. Kritik dan saran sangat diharapkan.

NGK, 20180303