Selasa, 20 Februari 2018

Sepeda Untuk Ilham

"Sepeda siapa ini, Pak Ustadz?" tanya Ilham melihat sepeda federal berwarna hijau yang tersandar di depan rumahku.

"Ilham mau sepeda ini?" tanyaku balik.

"Mau sekali, Pak Ustadz"

"Selesaikan hafalan juz 30, nanti sepeda itu Pak Ustadz kasih buat Ilham"

"Beneran, Pak Ustadz?"

Aku mengiyakan.

"Yeyeye ..." Wajah anak laki-laki berumur 7 tahun itu tampak berbinar.

Ilham adalah salah satu murid TPA ku. Semangat belajar yang tinggi dan daya tangkap yang lumayan cepat, membuat hanya dalam waktu 2 bulan saja, dia bisa mempelajari iqro dari nol sampai lancar membaca alqur'an. Ingatannya pun bagus. Setengah juz 30 sudah dia hafal.

Ilham tinggal bersama neneknya, seorang dukun bayi di kampungku.
Tinggal di sebuah rumah berdinding papan. Letaknya yang berada tepat di pinggir sungai, membuatku sering ikutan was-was kalau hujan lebat.

Kampung kami memang langganan bajir, karena tanahnya lebih rendah dari daerah sekitar. Hutan yang mulai polos membuat resapan air berkurang. Selain itu penambangan pasir besar-besaran di Sungai Tengah, membuat air melaju bebas tanpa hambatan. Hingga banjir sering tak terelakkan. Yang paling parah terkena dampaknya tentu daerah sepanjang aliran sungai.

Masih segar diingatkan waktu banjir bandang tahun lalu. Banjir terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Waktu itu, rumah Ilham sampai terbawa arus. Dengan bantuan warga, alhamdulillah, rumah 5x10 meter itu bisa berdiri kembali.

Ibu Ilham bekerja di luar negeri. Tak pernah pulang lagi sejak melahirkan Ilham. Ayahnya pun demikian. Bukan, Ilham bukan anak hasil hubungan gelap. Kedua orang tuanya menikah resmi. Namun sulitnya mencari penghidupan di kampung, memaksa keduanya untuk merantau. Ibunya memutuskan untuk jadi TKW di Hongkong, sementara ayahnya memilih merantau ke Jakarta. Semenjak itu tidak pernah ada kabar dari keduanya.

Apa cuma Ilham, muridku yang tidak berpunya?. Tidak. Hampir semua yang mengaji di tempatku serupa dengan Ilham. Serupa dalam kepapaan. Tapi setidaknya mereka masih punya kedua orang tua yang mendampingi. Sementara Ilham, seperti yatim piatu meskipun orang tua sebenarnya masih ada.

Seringkali aku melihat Ilham mengejar temannya yang naik sepeda di bawah teriknya matahari sepulang sekolah. Hampir tiap hari malah. Seragam merah putihnya sering terlihat basah oleh keringat. Tubuh kecil itu tampak ngos-ngosan dan kelelahan. Meskipun demikian wajahnya tampak ceria. Entah mengapa, justru itu yang membuatku iba. Ada keinginan di hati, jika ada rezeki lebih mau membelikan sepeda untuknya.

Alhamdulillah dua hari lalu, jasmedku cair. Setelah mampir di beberapa pos pengeluaran untuk bulan ini, alhamdulillah masih tersisa. Cukup untuk membeli sebuah sepeda. Meski second tapi masih tampak kokoh dan terlihat baru. Sepeda itulah yang saat ini terparkir di depan rumah dinasku.

*******

Beberapa minggu kemudian.

Sekelebat kulihat Ilham berlari-lari mengejar temannya seperti sebelumnya. Ku panggil dia.

"Ilham, kemari !"

"Iya, Pak Ustadz" jawabnya sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

"Kemana sepedamu?"

Sepeda itu sudah kuberikan padanya 2 minggu lalu. Dia sudah menyelesaikan hafalan juz 30 nya.

Dengan ragu dia menjawab, " Ru ... rusak, Pak Ustadz"

"Kenapa bisa rusak?"

"Kemarin jatuh, Pak Ustadz. Stirnya lepas"

"Sudah dibawa ke bengkel?"

Dia tertunduk lesu.

"Nenek belum punya uang, Pak Ustadz."

Aku menghela napas. Jujur aku tak tau harus berkata apa.

"Besok bawa kemari sepedanya, kita coba benahi sama-sama"

"Iya Pak Ustadz"

Sudah seharusnya aku mengajari Ilham teknik sederhana memperbaiki kerusakan kecil pada sepeda, agar hadiah yang kuberikan untuk menyenangkannya tidak malah menjadi beban untuk dia dan neneknya.

*********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar