"Mii ... lapar ... " Rengek putri bungsuku.
Aku sudah kehabisan akal untuk membujuknya. Dua kakaknya mencoba mengajaknya bermain. Tapi mereka sendiri juga nampak lesu, tidak bersemangat. Dari kemarin sore memang tidak ada makanan yang bisa dimasak. Persediaan beras habis. Abinya sudah keluar rumah sejak subuh tadi, mencari rezeki untuk sekedar makan kami sekeluarga hari ini, tapi sampai matahari meninggi belum juga sampai.
"Sebentar Putri, Abi masih keluar beli beras, nanti kalau Abi pulang, bantu Umi masak ya." Aku mencoba menghiburnya.
"Iya, Umiii ... Masih lama tidak, Abi beli berasnya?"
"Mudah-mudahan sebentar lagi pulang"
Sebulan yang lalu Mas Rahim, abinya anak-anak terserempet mobil saat sedang berjualan. Lukanya tidak parah, cuma lengan tangan kanannya sedikit retak. Rombong baksonya terguling ke selokan. Dan isinya tidak bisa terselamatkan. Pengemudi mobil kabur. Sisa tabungan kami habis untuk biaya berobat dan kebutuhan sehari-hari sebelum suamiku bisa bekerja kembali.
Beberapa hari ini nyeri di tangannya sudah mulai berkurang. Niat hati mau berjualan lagi. Tapi modal sudah terlanjur habis. Suamiku berusaha mencari pinjaman modal kesana-kemari, tapi belum dapat.
"Tok ... tok ... "
Ah ... Itu mungkin Mas Rahim. Mudah-mudahan membawa berita baik. Aku sudah tidak sanggup melihat wajah anak-anakku yang memelas menahan lapar.
"Oh, Pak Budi." Ternyata temannya suamiku yang datang.
"Silakan duduk, Pak." Kupersilakan tamuku duduk di kursi teras.
"Mas Rahim ada, Bu?"
"Suami saya sedang keluar, mungkin sebentar lagi pulang. Ada perlu apa ya, Pak, biar nanti saya sampaikan?"
"Oh ... Cuma mau menyampaikan ini, Bu" Pak Budi menyerahkan sebuah amplop.
"Apa ini Pak?"
"Rumah saya sudah laku terjual Bu, atas perantara Pak Rahim. Ini sedikit rasa terima kasih dari kami"
"Tidak perlu seperti ini, Pak. Suami saya insyaallah ikhlas menolong"
"Saya mohon diterima bu. Ini jumlahnya tidak banyak. Mudah-mudahan bisa sedikit membantu menambah modal buat jualan lagi."
Pak Budi meletakkan amplop itu di meja.
"Saya pamit dulu ya Bu. Assalamualaikum."
"Wa ... wa'alaikumussalam warahmatullah"
Aku termangu. Sampai-sampai lupa mengucapkan terima kasih kepada Pak Budi. Kuraih amplop putih tebal itu. Dan tak henti-henti mengucap syukur, atas rezeki- Nya yang tak terkira.
*******
Beberapa saat sebelumnya di jalanan.
Rahim sedang kebingungan. Kemana lagi harus mencari pinjaman. Sudah diketuk pintu rumah saudara dan beberapa teman dekatnya. Tapi jawabanya sama. Mereka juga sedang tidak punya uang. Dengan lesu dia duduk di dekat sebuah halte. Pengen pulang ke rumah, tapi tidak tega melihat wajah kecewa istrinya. Isti, istri yang baik, tidak banyak menuntut. Tapi beberapa hari ini Rahim tau istrinya sering menahan tangis saat anak-anak merengek kelaparan. Sering dia relakan jatah makannya, agar anak- anak mendapat porsi sedikit lebih banyak.
Rahim sedikit terkejut mendengar tangis anak kecil di sebelahnya.
Anak itu berbaju lusuh dan tampak kurus sekali. Dia menangis sambil memegangi perutnya. Di sebelahnya tampak ibu-ibu setengah baya dengan penampilan yang sama.
"Anaknya kenapa, Bu?"
"Sudah dua hari ini kami tidak mendapatkan makanan Pak. Bahkan sisa-sisa makanan di sana juga tidak ada" ucapnya sambil menunjuk tempat sampah di depan sebuah restoran.
"Ah ... Ada yang lebih kurang beruntung daripada kami ternyata." ucap Rahim dalam hati.
Dia merogoh saku bajunya. Masih ada uang 10 ribu yang sebenarnya untuk ongkos kendaraan. Sengaja Rahim berjalan kaki saat berangkat tadi. Agar uang itu bisa dia gunakan untuk membeli beras jika nanti tidak mendapatkan uang pinjaman.
Dia berikan uang itu kepada si ibu
"Ini Bu ada sedikit uang buat beli makan."
"Terima kasih banyak Pak. Mudah-mudahan Bapak diberikan kelimpahan rezeki. Rezeki yang barakah."
"Aamiin.."
Entah mengapa ada sedikit rasa lega di hatinya. Mudah-mudahan ada rezeki lain untuk dia dan anak-anaknya hari ini. Harapnya.
*******
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar