Sabtu, 17 Februari 2018

Kabut Senja

Pak Suji bersiap-siap berangkat ke terminal. Karyo, temannya, tidak datang menjemput hari ini. Mungkin sakit. Karyo adalah sahabat, sekaligus partnernya 'narik ' angkot. Kalau betul Karyo sakit, biarlah dia 'narik' sendiri. Pak Suji butuh uang. Anak-anak harus bayar uang sekolah.

Lelaki itu memakai topi kesayangannya. Topi yang sudah bertahun-tahun menemani bekerja. Jarak terminal dan rumah tidak terlalu jauh. Dia biasa berjalan kaki ke sana.

Sampai di terminal, Pak Suji tertegun. Kemana angkotnya? Kemana angkot-angkot yang lain? Yang terlihat cuma bus-bus besar. Apa mungkin salah jalan? Tidak, tidak mungkin. Terminal ini sudah seperti rumah kedua baginya. Tiap hari, sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, dia kemari. Tidak mungkin salah.

Pak Suji duduk termenung. Ingin sekali bertanya ke orang-orang yang berlalu-lalang. Tapi mereka bergerak terlalu cepat. Tak mampu dia mengikuti.

Matahari semakin meninggi. Sejak pagi belum ada sesuap nasi pun yang masuk ke perut. Dirogohnya saku baju. Tidak ada uang.
Pak Suji bangkit. Berjalan berkeliling. Berharap ketemu Karyo, Paijo, Waluyo, atau teman-teman 'ngangkot' lainnya. Mau bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Dan juga, barangkali saja mereka ada sedikit uang lebih, yang bisa dia utang untuk beli sekedar  pengganjal perut.

Tidak ada yang dikenalnya. Semua tampak asing.

Tiba-tiba kepalanya pusing berputar. Perut kosong ditambah teriknya matahari yang membakar, membuat tubuhnya lemas. Dicobanya mencari pegangan, tapi tidak dapat. Dan akhirnya gelap. Pak Suji Pingsan.

******

Pak Suji tersadar. Dahinya terasa nyeri. Terpasang plester di sana. Dilihatnya Khairul, anaknya, berbicara dengan seorang berseragam polisi.

"Terima kasih sudah menghubungi kami, Pak. Bapak saya dari pagi keluar rumah. Sudah kami cari kemana-mana tapi tidak ketemu." Dia mendengar suara anaknya menjelaskan.

"Di jaga baik-baik ya, Pak. Jangan sampai hilang lagi."

"Iya, Pak. Terima kasih."

Khairul menghampiri tubuh renta itu. Dengan penuh sesal digenggamnya tangan Pak Suji. Dia teledor lagi menjaga orang tua yang begitu dikasihinya.

Sudah disewanya seorang perawat untuk merawat sekaligus mengawasi Pak Suji. Tapi hari ini perawat tersebut sedang cuti. Sementara sejak pagi buta dia harus ke kantor, karena ada urusan yang harus diselesaikan pagi itu juga. Istrinya ke sekolah, mengambil rapot anak-anak. Pagi ini bapaknya hanya sendirian di rumah.

Pak Suji dulu adalah seorang supir angkot. Dia bekerja siang malam banting tulang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Jerih payahnya membuahkan hasil. Ketiga anaknya menjadi orang berhasil. Khairul, si sulung, adalah pemilik sebuah pabrik tekstil yang lumayan maju. Kedua adiknya, Ridwan dan Sholeh tinggal di luar kota. Ridwan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang, sedangkan Sholeh menjadi kepala sekolah di kota yang sama.

Sejak usaha Khoirul mulai maju, dia meminta ayahnya untuk berhenti 'narik' angkot. Tidak tega rasanya melihat orang tuanya yang sudah mulai renta berpanas-panas demi hasil yang tidak seberapa. Waktu itu kedua adiknya masih kuliah. Dia yang akan mengusahakan seluruh biayanya. Awalnya bapak menolak. Tidak biasa berpangku tangan katanya. Tapi karena sering sakit-sakitan akhirnya dia mau berhenti.

Untuk mengusir sepi dia masih sering ke terminal untuk sekedar ngobrol dengan teman-teman. Di rumah, anaknya terlalu sibuk. Pergi pagi pulang malam. Tidak ada waktu untuknya. Tapi Pak Suji memaklumi. Usaha Khairul yang mulai berkembang memerlukan perhatian lebih.

Beberapa tahun terakhir ini teman-teman Pak Suji mulai pergi satu persatu. Meninggal. Itu yang membuat Suji merasa semakin kesepian.

Ingatannya pun kian lama kian berkurang. Bahkan nama anak-anaknya pun sering terlupa. Tapi anehnya dia tidak pernah lupa jalan ke terminal, tempat biasa dia 'narik' angkot, yang kini sudah berubah jadi terminal bus. Kapan ada kesempatan Pak Suji selalu pergi ke sana. Tapi yang bikin repot dia selalu lupa jalan pulang.

****

Maaf jika ceritanya datar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar