"Iih ... Mbak Ria ini ... Kenapa diam saja digosipin yang tidak-tidak?"
"Lha Mbak harus gimana, Rin? Harus mencak-mencak dan melabrak Bu Meli begitu?"
"Iya dong, Mbak ... Biar dia tak seenaknya ngomongin Mbak"
"Sudahlah Rin, apa kalau kita labrak dia, terus dia bakal berhenti nggosipin Mbak? Tidak Rin ... Tidak ada jaminan"
"Tapi, Mbak ..."
Rasanya hati ini masih tidak rela. Kakakku yang kalem, tidak pernah ngomongin orang, ringan tangan bantuin siapa saja yang minta pertolongan, menjadi buah bibir tetangga.
Ceritanya, Mbak Ria ini kemarin dilamar oleh teman kuliahnya. Mereka tidak pacaran. Prosesnya melalui ta'aruf. Dari proses lamaran hingga pernikahan memang cukup singkat, cuma 2 minggu. Pihak pria memang menghendaki pernikahan segera dilaksanakan, karena Mas Ibrahim, calon kakak iparku, akan melanjutkan pendidikannya di Jepang. Kakak akan dibawa serta ke sana.
Itu yang membuat tetangga pada ribut. Dibilang Mbak Ria hamil duluanlah, kejar targetlah, dan entah apalagi yang mereka bilang. Dan yang paling ribut tentu saja Bu Meli.
Aku tidak tahu salah apa Mbak Ria padanya. Selalu ada saja bahan gosipnya. Waktu kakakku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogya, dia sibuk kesana kemari bilang kalau kakakku nggak akan sanggup lulus dari sana.
"UG* kan tempatnya orang pinter-pinter, tidak mungkin deh si Ria bisa ngikutin, hanya beruntung saja dia bisa lolos SMPTN," katanya waktu itu.
"Kalau pun bisa, biayanya kan mahal sekali. Apa mampu bapaknya biayai sampai selesai?"
Kata-kata seperti itu yang dia sebar kemana-mana. Dan waktu Mbak Ria lulus, ada lagi gosipnya.
"Palingan dia kerja yang aneh-aneh di kota, untuk biaya kuliahnya."
Apalagi setelah beberapa tahun lulus ternyata kakakku belum nikah, ada lagi gosipnya. Sebutan perawan tua, dia juga yang nyebar-nyebarin ke tetangga.
Dan kakakku hanya diam saja. Itu yang bikin aku tambah kesel.
"Rin ... Hidup itu pilihan. Saat dihina orang, kita juga punya dua pilihan. Mau marah bisa, dengan resiko kita terputus silaturrahim dengan tetangga. Tidak enak Rin, hidup berdampingan tapi musuh-musuhan. Dan marah-marah bikin cepat tua lho," kata Mbak Ria sedikit bercanda.
"Dan Mbak memilih pilihan kedua, Rin. Disenyumin saja. Toh kalau tuduhannya tidak terbukti, mereka akan diam sendiri," lanjutnya.
"Tapi Mbak, mereka sudah keterlaluan sekali ... Terputus silaturrahim ya biar saja Mbak. Tidak ada untungnya bertetangga dengan tukang gosip"
"Huss ... Tidak boleh ngomong begitu. Dosa Rin. Tetangga itu saudara deket kita, Rin. Kalau ada apa-apa siapa yang akan nolong kita kalau bukan mereka?"
Aku terdiam.
"Biarlah Rin, toh tidak tiap hari mereka gosipin kita. Capek juga kali, kalau kita ladenin. Capek hati, capek pikiran."
Meski belum bisa menerima sepenuhnya, aku mengiyakan.
****
Dua tahun sudah Mbak Ria tinggal di Jepang. Sudah tidak ada lagi gosip tentangnya. Tapi ....
"Si Rini, kok tidak sepintar kakaknya ya. Sudah itu kelakuannya itu lho kayak cowok. Jangan-jangan dia itu LG*T."
Tak sengaja kudengar gosip itu waktu ke warung. Ingin rasanya marah-marah saat itu juga. Tapi teringat pesan Mbak Ria.
"Marah-marah hanya akan membuat mereka semakin senang. Kita baikin mereka. Lama-lama akan sungkan sendiri."
Ah Mbak Ria ... Andai setengah saja aku bisa mencontoh kesabaranmu.
Nganjuk, 16022018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar