Besok adalah hari pernikahanku. Seorang gadis manis pengahafal qur'an insyaallah akan resmi jadi pendampingku. Bahagia tentu saja. Gadis seperti dia sudah langka barangkali. Disaat yang lain bersenang-senang, katanya, menikmati masa muda, dia menyibukkan diri dengan alqur'an. Masyaallah. Itulah yang membuatku tanpa ragu sedikitpun memilihnya jadi ibu buat anak-anakku kelak.
Dan alhamdulillah tidak bertepuk sebelah tangan, dia dan keluarganya menerima pinanganku.
Tapi sejujurnya hati ini masih ragu, bisakah membahagiakanya?.
Selepas mondok aku menjadi pengajar honorer di salah satu madrasah di kotaku. Meski gaji kecil tapi alhamdulillah sampai hari ini tak membuatku merasa kekurangan. Tapi bagaimana nanti setelah menikah?.
Aku tau calon istriku adalah gadis yang baik. Halus tutur katanya dan penyabar. Darimana tahunya? Dari teman-temanya, tetangganya, dan saudara-saudaranya. Yah, dari merekalah aku sedikit mengenalnya. Meski demikian bisakah dia mengikuti gaya hidupku yang serba seadanya?.
Sempat kuutarakan kegelisahanku itu pada Ustadz Zul yang kebetulan adalah kepala sekolah tempat aku mengajar.
"Menikah itu membuka pintu rezeki Haris. Saat masih bujang, yang lewat ke kamu ya rezekimu saja. Setelah menikah akan ada jalan rezeki untuk istrimu dan anak-anakmu,"
kata Ustadz Zul waktu itu.
"Coba Haris, bacakan surat An-Nur ayat 32," pinta Ustadz Zul.
Haris pun membacakanya dengan merdu.
"Artinya?,"
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui," Haris mengartikan dengan lancar.
"Renungkan ayat tersebut Haris, dalami maknanya agar keraguan itu hilang dari hatimu."
"Iya, Ustadz," jawabku.
Hening sejenak.
"Kamu sudah menjelaskan kondisimu ke Rahmah dan orang tuanya, kan?" lanjutnya.
Oh iya, Rahmah adalah nama calon istriku.
"Sudah Ustadz," jawabku.
"Dan mereka menerimanya?"
"Iya, Ustadz"
"Ya sudah, apalagi yang membuatmu ragu? Yakin dengan janji Allah, Har," tegas Pak Ustadz.
Wejangan beliau sedikit menenangkanku.
Pernikahan alhamdulillah berjalan lancar. Setelah menikah kami memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah. Kami ingin belajar mandiri. Malu rasanya jika setelah menikah masih bergantung sama orang tua. Rumah kontrakan kami adalah rumah petakan sempit. Hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu dan ruang kecil yang kami fungsikan untuk dapur. Sementara kamar mandi, adanya kamar mandi luar yang dipakai bersama penghuni rumah petakan lainnya. Kurang ideal tentu saja, tapi hanya itu yang mampu kami sewa.
"Tak apa-apa, Bang, Rahmah sudah terbiasa di pondok. Ini jauh lebih luas dari kamar pondok Rahmah dulu. Asal berdua sama Abang, Rahmah bahagia," ucapnya ceria.
Ah.. Rahmah, aku terharu mendengarnya. Engkau memang istri yang sholihah. Saat ini aku memang belum bisa memberikan apa-apa padamu. Tapi aku akan berusaha lebih keras, agar kelak bisa membangunkan istana buatmu dan anak-anak kita. Itu janjiku bidadariku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar