Pikiran Mira menerawang. Waktu menunjukan pukul 01.00. Tapi mata masih enggan terpejam. Ucapan Roni, sahabat tempatnya biasa berkeluh kesah, mengganggu pikannya.
"Sudah lama, aku jatuh hati padamu, Ses"
Jatuh hati? Bagaimana bisa?
Roni adalah seorang guru di salah satu SMP di pelosok Gorontalo. Sementara Mira adalah perawat yang bertugas di kecamatan yang sama. Rumah dinas keduanya berdekatan. Karena sama-sama dari kota dan diangkat pegawai pada saat yang sama, membuat pertemanan mereka terjalin erat. Oh ... iya, 'Ses' adalah sebutan petugas kesehatan perempuan di daerah itu.
Wajar sebenarnya, persahabatan laki-laki dan perempuan, berujung cinta. Menjadi tidak wajar kalau salah satunya sudah berkeluarga.
Roni sudah beristri dan memiliki 2 orang putra. Karena keterbatasan akses pendidikan di desa, mereka menetap di kota. Ronilah yang tiap sabtu- minggu pulang mengunjungi anak dan istrinya.
Selama beberapa tahun bersahabat, mereka tidak pernah melampaui batas. Masing-masing tau posisinya.
Bapak dua anak itu memang mudah bergaul. Ramah kepada siapa pun. Kepada sesama pegawai maupun ke warga sekitar. Tak heran jika dia memiliki banyak teman, laki- laki maupun perempuan. Dan Mira, hanyalah salah satu sahabatnya saja. Makanya, agak kaget sebenarnya, saat mendengar pria bertubuh atletis itu mengungkapkan cinta.
"Bagaimana dengan istrimu, Pak Guru?" tanya Mira waktu itu setelah debaran jantungnya sedikit berkurang.
"Sudah 2 tahun ini hubungan kami hambar" ucapnya pelan.
"Banyak gosip beredar, dia menjalin hubungan kembali dengan mantan kekasihnya"
Gadis berkulit kuning langsat itu tertegun.
"Tapi itu bukan alasan, kau boleh melakukan hal yang sama."
"Aku akan menggugat cerai istriku"
"Bagaimana dengan anak-anakmu, kamu tidak memikirkan mereka?"
Roni menghela napas.
"Mereka yang akan menderita oleh keegoisan kalian berdua," lanjut Mira.
Keduanya terdiam dengan pikirannya masing-masing.
Jujur, seandainya Roni belum berkeluarga, Mira tentu akan menerima dengan tangan terbuka. Rasa nyaman yang dirasakan saat bersama, membuatnya merasa akan mudah mengubah perasaannya menjadi cinta. Selain itu usia Mira yang mendekati kepala tiga, membuat banyak tuntutan dari keluarga untuk segera mengenalkan calon pendamping. Sementara sampai saat ini belum ada satu pemuda pun yang terasa 'sreg' di hati.
Pernah beberapa kali ada yang datang melamar. Tapi selalu gagal. Ada saja kendalanya. Orang tua yang tidak setuju, uang panaik yang kurang, atau Mira yang kurang cocok sama calonnya.
Dan yang terakhir datang, adalah seorang pemuda lulusan S2 calon dosen muda di kampus terbesar di kotanya. Mira dan orang tuanya merasa cocok. Namun tidak tahu mengapa, seminggu sebelum akad, pemuda itu memutuskan lamarannya. Betapa malu dan sakit hati Mira sekeluarga waktu itu. Tapi namanya belum jodoh, mau diapakan? Meski akhirnya bisa menerima, peristiwa itu sedikit banyak membawa trauma sendiri bagi gadis ayu berhidung mancung tersebut. Membuatnya sangat berhati-hati bila ada yang coba mendekat.
Pembawaan Roni yang ramah dan suka bercanda, membuat Mira yang awalnya tertutup, mulai bisa sedikit terbuka. Dia mulai berani bercerita tentang masalah pekerjaan,masalah dengan keluarga dan lainnya. Dan pria 33 tahun itu meski kadang tidak bisa memberi penyelesaian, tapi bisa menjadi pendengar yang baik. Kekonyolannya selalu bisa membuat Mira terhibur dan melupakan masalahnya.
Dan sekarang dia menyatakan cinta. Mira tak tau harus bagaimana. Bisakan dia berbahagia di atas kehancuran rumah tangga orang lain? Tapi bukankah istrinya duluan yang berselingkuh? Ah ... entahlah. Mira benar-benar dilanda kebingungan.
******
"Saya terima nikahnya Mira Binti Sulaiman dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas seberat 100 gram dibayar tunai" ucap mempelai pria dengan lancar.
"Gimana saksi? Sah?"
"SAH"
Tampak dua bulir airmata mengalir ke pipi putih bening itu. Airmata bahagia. Hari ini adalah hari bahagianya. Mira telah resmi menjadi seorang istri. Bukan Nyonya Roni tentu saja. Tapi Nyonya Ardhi.
Ardhi adalah cinta monyetnya saat SMA dulu. Setelah lulus mereka berpisah. Tanpa ada kata putus. Ardhi melanjutkan kuliah di Jawa. Dan bekerja juga di sana.
Beberapa bulan lalu mereka bertemu kembali di acara reuni sekolah. Rasa yang dulu sempat hilang kembali hadir.
"Aku kembali untuk meminangmu. Mungkin aku hanyalah cinta monyet bagimu, tapi kamu adalah cinta pertama dan kuharap menjadi cinta terakhirku" ucap Ardhi kala itu.
Ucapannya dibuktikan dengan kedatangan keluarga besarnya seminggu kemudian. Dan seminggu berikutnya, Mira telah sah menjadi Nyonya Ardhi.
Bagaimana dengan Roni?
Semenjak peristiwa itu Mira mulai berusaha menjauhinya. Semua akses dia tutup. Nomor telepon, wa, fb dan medsos lainnya dia blokir semua. Termasuk pintu rumahnya. Gadis manis itu, tak ingin semakin terbuai oleh kata-kata manis dari mulutnya. Bagaimanapun statusnya masih suami orang. Awal-awal memang terasa berat, kehilangan sosok sahabat, yang biasa selalu ada saat dibutuhkan. Tapi lama-lama Mira terbiasa.
Karena tidak ada tanggapan, lama-lama, lelaki berkumis tipis itupun mundur teratur.
Suatu hari saat di kota, tak sengaja Mira melihat Roni dan keluarganya. Mira tau, karena Roni pernah memperlihatkan fotonya bersama anak dan istri. Istrinya tampak anggun dengan balutan busana syar'i dan hijab birunya. Wajahnya tampak berbinar. Senyum bahagia membuat wajah wanita berkulit bersih itu semakin menawan.
Ah ... mungkinkah wanita seperti dia tega menghianati suaminya? Ada rasa tak percaya dalam hati Mira. Dan entah mengapa, tumbuh keyakinan dalam hatinya, bahwa alasan yang dikatakan Roni kepadanya tempo hari hanya hoax semata. Demi untuk mendapat perhatian lebih darinya. Entahlah. Yang jelas, Mira bersyukur sekali, dirinya memilih jalan yang benar. Tidak menjadi penyebab rusaknya rumah tangga orang lain.