Senin, 26 Februari 2018

Pemuda Idaman

"Mohon maaf, kalau mengaji di masjid jangan terlalu keras, mengganggu orang lain yang sedang ingin bercengkerama dengan Tuhan-Nya".

Aku terhenyak membaca secarik kertas yang diberikan seorang anak kecil. Penulisnya bukan bocah itu tentu saja. Tapi seorang remaja berwajah bersih, berseragam abu putih yang bermakmum kepadaku tadi.

Sehabis sholat dzuhur dan ba'diahnya, aku memang terbiasa membaca alqur'an sampai menjelang pukul 14.00 . Jam istri pulang kantor. Pekerjaan yang fleksible, membuatku bebas mengatur jam kerja, tidak terikat aturan tertentu.

Masjid Nurul Iman ini salah satu masjid favoritku. Bangunannya megah, bersih, dan rindangnya pohon di halaman, membuat betah berlama-lama di sana. Letaknya juga cuma beberapa meter dari kantor istri. Jadi biasa selesai semua urusan, langsung capcus ke sini, ngadem sekalian nunggu istri pulang.

Siang itu, masjid tampak sepi. Padahal sudah masuk waktu dzuhur. Selesai bersuci, aku ambil spiker, bersiap-siap untuk adzan. Rezeki. Aku ingat hadis yang bunyinya kira-kira begini ....

"Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan undian niscaya mereka rela berundi untuk mendapatkannya…”

Berarti keberuntungan buatku kan? Karena tidak perlu berebut dengan yang lain.

Selesai adzan, tidak ada jama'ah yang datang. Aku berdiri untuk sholat qobliyah. Datanglah pelajar SMA pria tadi. Kami pun sholat dzuhur berjamaah. Usai sholat aku langsung berdiri untuk sholat rowatib berikutnya dan melanjutkan dengan membaca Kalamullah.

Kulihat dia masih sholat ba'diayah. Khusuk sekali. Begitu menikmati setiap rukuk dan sujudnya. Sampai setengah juz bacaan qur'anku, dia baru menyelesaikan sholat ba'diyahnya.

Dia duduk sejenak dan berlalu. Tak kuperhatikan kemana perginya. Sampai seorang anak kecil menghampiri.

"Ini dari kakak yang tadi," ucapnya sambil menunjuk ke arah pemuda tadi, yang ternyata masih di halaman masjid.

Marahkah aku? Tentu tidak. Begitulah layaknya seorang muslim dalam menasehati. Jika ada saudaranya berbuat salah, jangan sampai diumbar di depan umum, dengan dalih membetulkan kesalahannya. Tapi nasehatilah secara sembunyi-sembunyi, sehingga dia tidak merasa dipermalukan.

Selesai membaca nasehat yang dia kirim, aku berniat hendak berterimakasih padanya, karena sudah mengingatkan. Tapi dia sudah tidak ada.

Ah ... Terbesit do'a di hati, mudah-mudahan 10 tahun lagi, pemuda seperti dia yang akan memimpin negeri tercinta ini. Aamiin.

Minggu, 25 Februari 2018

Pilihan Hati

Pikiran Mira menerawang. Waktu menunjukan pukul 01.00. Tapi mata masih enggan terpejam. Ucapan Roni, sahabat tempatnya biasa berkeluh kesah, mengganggu pikannya.

"Sudah lama, aku jatuh hati padamu, Ses"

Jatuh hati? Bagaimana bisa?

Roni adalah seorang guru di salah satu SMP di pelosok Gorontalo. Sementara Mira adalah perawat yang bertugas di kecamatan yang sama. Rumah dinas keduanya berdekatan. Karena sama-sama dari kota dan diangkat pegawai pada saat yang sama, membuat pertemanan mereka terjalin erat. Oh ... iya, 'Ses' adalah sebutan petugas kesehatan perempuan di daerah itu.

Wajar sebenarnya, persahabatan laki-laki dan perempuan, berujung cinta. Menjadi tidak wajar kalau salah satunya sudah berkeluarga.

Roni sudah beristri dan memiliki 2 orang putra. Karena keterbatasan akses pendidikan di desa, mereka menetap di kota. Ronilah yang tiap sabtu- minggu pulang mengunjungi anak dan istrinya.

Selama beberapa tahun bersahabat, mereka tidak pernah melampaui batas. Masing-masing tau posisinya.

Bapak dua anak itu memang mudah bergaul. Ramah kepada siapa pun. Kepada sesama pegawai maupun ke warga sekitar. Tak heran jika dia memiliki banyak teman, laki- laki maupun perempuan. Dan Mira,  hanyalah salah satu sahabatnya saja. Makanya, agak kaget sebenarnya, saat mendengar pria bertubuh atletis itu mengungkapkan cinta.

"Bagaimana dengan istrimu, Pak Guru?" tanya Mira waktu itu setelah debaran jantungnya sedikit berkurang.

"Sudah 2 tahun ini hubungan kami hambar" ucapnya pelan.

"Banyak gosip beredar, dia menjalin hubungan kembali dengan mantan kekasihnya"

Gadis berkulit kuning langsat itu tertegun.

"Tapi itu bukan alasan, kau boleh melakukan hal yang sama."

"Aku akan menggugat cerai istriku"

"Bagaimana dengan anak-anakmu, kamu tidak memikirkan mereka?"

Roni menghela napas.

"Mereka yang akan menderita oleh keegoisan kalian berdua," lanjut Mira.

Keduanya terdiam dengan pikirannya masing-masing.

Jujur, seandainya Roni belum berkeluarga, Mira tentu akan menerima dengan tangan terbuka. Rasa nyaman yang dirasakan saat bersama, membuatnya merasa akan mudah mengubah perasaannya menjadi cinta. Selain itu usia Mira yang mendekati kepala tiga, membuat banyak tuntutan dari keluarga untuk segera mengenalkan calon pendamping. Sementara sampai saat ini belum ada satu pemuda pun yang terasa 'sreg' di hati.

Pernah beberapa kali ada yang datang melamar. Tapi selalu gagal. Ada saja kendalanya. Orang tua yang tidak setuju, uang panaik yang kurang, atau Mira yang kurang cocok sama calonnya.

Dan yang terakhir datang, adalah seorang pemuda lulusan S2 calon dosen muda di kampus terbesar di kotanya.  Mira dan orang tuanya merasa cocok. Namun tidak tahu mengapa, seminggu sebelum akad, pemuda itu memutuskan lamarannya. Betapa malu dan sakit hati Mira sekeluarga waktu itu. Tapi namanya belum jodoh, mau diapakan? Meski akhirnya bisa menerima, peristiwa itu sedikit banyak membawa trauma sendiri bagi gadis ayu berhidung mancung tersebut. Membuatnya sangat berhati-hati bila ada yang coba mendekat.

Pembawaan Roni yang ramah dan suka bercanda, membuat Mira yang awalnya tertutup, mulai bisa sedikit terbuka. Dia mulai berani bercerita tentang masalah pekerjaan,masalah dengan keluarga dan lainnya. Dan pria 33 tahun itu meski kadang tidak bisa memberi penyelesaian, tapi bisa menjadi pendengar yang baik. Kekonyolannya selalu bisa membuat Mira terhibur dan melupakan masalahnya.

Dan sekarang dia menyatakan cinta. Mira tak tau harus bagaimana. Bisakan dia berbahagia di atas kehancuran rumah tangga orang lain? Tapi bukankah istrinya duluan yang berselingkuh? Ah ... entahlah. Mira benar-benar dilanda kebingungan.

******
"Saya terima nikahnya Mira Binti Sulaiman dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas seberat 100 gram dibayar tunai" ucap mempelai pria dengan lancar.

"Gimana saksi? Sah?"

"SAH"

Tampak dua bulir airmata mengalir ke pipi putih bening itu. Airmata bahagia. Hari ini adalah hari bahagianya. Mira telah resmi menjadi seorang istri. Bukan Nyonya Roni tentu saja. Tapi Nyonya Ardhi.

Ardhi adalah cinta monyetnya saat SMA dulu. Setelah lulus mereka berpisah. Tanpa ada kata putus. Ardhi melanjutkan kuliah di Jawa. Dan bekerja juga di sana.

Beberapa bulan lalu mereka bertemu kembali di acara reuni sekolah. Rasa yang dulu sempat hilang kembali hadir.

"Aku kembali untuk meminangmu. Mungkin aku hanyalah cinta monyet bagimu, tapi kamu adalah cinta pertama dan kuharap menjadi cinta terakhirku" ucap Ardhi kala itu.

Ucapannya dibuktikan dengan kedatangan keluarga besarnya seminggu kemudian. Dan seminggu berikutnya, Mira telah sah menjadi Nyonya Ardhi.

Bagaimana dengan Roni?

Semenjak peristiwa itu Mira mulai berusaha menjauhinya. Semua akses dia tutup. Nomor telepon, wa, fb dan medsos lainnya dia blokir semua. Termasuk pintu rumahnya. Gadis manis itu, tak ingin semakin terbuai oleh kata-kata manis dari mulutnya. Bagaimanapun statusnya masih suami orang. Awal-awal memang terasa berat, kehilangan sosok sahabat, yang biasa selalu ada saat dibutuhkan. Tapi lama-lama Mira terbiasa.

Karena tidak ada tanggapan, lama-lama, lelaki berkumis tipis itupun mundur teratur.

Suatu hari saat di kota, tak sengaja Mira melihat Roni dan keluarganya. Mira tau, karena Roni pernah memperlihatkan fotonya bersama anak dan istri. Istrinya tampak anggun dengan balutan busana syar'i dan hijab birunya.  Wajahnya tampak berbinar. Senyum bahagia membuat wajah wanita berkulit bersih itu semakin menawan.

Ah ... mungkinkah wanita seperti dia tega menghianati suaminya? Ada rasa tak percaya dalam hati Mira. Dan entah mengapa, tumbuh keyakinan dalam hatinya, bahwa alasan yang dikatakan Roni kepadanya tempo hari hanya hoax semata. Demi untuk mendapat perhatian lebih darinya. Entahlah. Yang jelas, Mira bersyukur sekali, dirinya memilih jalan yang benar. Tidak menjadi penyebab rusaknya rumah tangga orang lain.

Sabtu, 24 Februari 2018

Siti Nurbaya Zaman Now

"Aaaaaaaaaaa .... "

Aku dan suami terkejut mendengar lengkingan seorang wanita. Spontan kami keluar rumah. Nampak seorang gadis tinggi kurus berlari sambil berteriak keras. Di belakangnya, seorang pria setengah baya tampak kelelahan mengejarnya.

"Tunggu Ayah Lila ... berhenti!" seru pria itu dengan napas ngos-ngosan.

Tak berapa lama, banyak warga yang keluar rumah dan membantu bapak tersebut mengejar anaknya yang sudah agak jauh berlari. Bang Herman, suamiku pun turut membantu.

Alhamdulillah terkejar. Butuh beberapa orang untuk membawanya pulang, karena dia  meronta-ronta dan terus berteriak.

"Lepaskan aku... Aku mau pergi ... Aku tak mau dikurung... " teriaknya.

Sesampai di rumahnya, yang kebetulan hanya berjarak 5 rumah dari kediaman mertuaku, gadis berkulit kuning langsat itu langsung dimasukkan ke kamarnya. Seorang wanita berumur 40 tahunan, dengan air mata berderai ikut masuk. Terdengar suara pintu dikunci dari dalam. Sebentar kemudian, suara teriakan itu berhenti. Berganti dengan suara tangisan keduanya yang terdengar memilukan.

Warga pun bubar, kembali ke rumah masing-masing. Termasuk aku dan suami.

Sepanjang jalan menuju rumah tak kuasa aku menahan ke'kepo'an.

"Kenapa dia, Bang?"

Aku memang belum terlalu mengenal warga di sini. Semenjak menikah, kami mengontrak rumah di kota, dekat tempat suami bekerja. Hari ini kebetulan jadual kami mengunjungi mertua.

"Depresi" jawab suami singkat.

"Kok bisa?"

"Ya, bisa"

"Ish ... Abang nih"

"Biasalah, Siti Nurbaya masa kini" ucap Bang Herman, enggan menjelaskan lebih lanjut.

Setiba di rumah, dengan sedikit paksaan, akhirnya Bang Herman mau bercerita.

Gadis itu bernama Lila. Merupakan anak semata wayang dari dari Pak Rudi, orang paling kaya di kampung suami. Dari kecil Lila selalu dimanja. Apa pun kemauannya selalu dituruti. Tapi semenjak remaja, pergaulannya mulai dibatasi. Entah kenapa. Mungkin orang tuanya takut Lila salah pergaulan dan hanya dimanfaatkan oleh teman-temannya.

Dua tahun lalu, diam-diam Lila menjalin hubungan dengan seorang pemuda, teman kuliahnya. Backstreet. Tapi naas, hubungan itu diketahui oleh ayahnya. Mereka dipaksa untuk berpisah. Lila diminta keluar dari kampus, sementara pemuda itu entah nasibnya bagaimana.

Peristiwa itu membuat Pak Rudi semakin protektif terhadap putrinya. Lila tidak diijinkan keluar rumah kecuali bersama ayah atau ibunya. Hal itu yang membuatnya tertekan dan akhirnya depresi.

"Begitu ceritanya, Nyonya Kepo"

"Kasian ya" ucapku terenyuh.

"Iya ... kasian sekali."

"Lha terus, kenapa tidak dikawinkan saja mereka, Bang?"

"Meneketehe"

"Hmm ... gimana kalau Abang saja yang mencoba melamar Lila, Dek? Siapa tau sembuh depresinya"

"Abaaaaaaaaaaanggg ... "

Bang Herman berlari ke belakang sambil terbahak. Baguslah. Sebelum istrinya yang cantik jelita ini berubah menjadi Sailormoon. Dengan kekuatan sandal terbang akan menghukummu. (Maaf ... bercanda, Pemirsa).

END

Selasa, 20 Februari 2018

Sepeda Untuk Ilham

"Sepeda siapa ini, Pak Ustadz?" tanya Ilham melihat sepeda federal berwarna hijau yang tersandar di depan rumahku.

"Ilham mau sepeda ini?" tanyaku balik.

"Mau sekali, Pak Ustadz"

"Selesaikan hafalan juz 30, nanti sepeda itu Pak Ustadz kasih buat Ilham"

"Beneran, Pak Ustadz?"

Aku mengiyakan.

"Yeyeye ..." Wajah anak laki-laki berumur 7 tahun itu tampak berbinar.

Ilham adalah salah satu murid TPA ku. Semangat belajar yang tinggi dan daya tangkap yang lumayan cepat, membuat hanya dalam waktu 2 bulan saja, dia bisa mempelajari iqro dari nol sampai lancar membaca alqur'an. Ingatannya pun bagus. Setengah juz 30 sudah dia hafal.

Ilham tinggal bersama neneknya, seorang dukun bayi di kampungku.
Tinggal di sebuah rumah berdinding papan. Letaknya yang berada tepat di pinggir sungai, membuatku sering ikutan was-was kalau hujan lebat.

Kampung kami memang langganan bajir, karena tanahnya lebih rendah dari daerah sekitar. Hutan yang mulai polos membuat resapan air berkurang. Selain itu penambangan pasir besar-besaran di Sungai Tengah, membuat air melaju bebas tanpa hambatan. Hingga banjir sering tak terelakkan. Yang paling parah terkena dampaknya tentu daerah sepanjang aliran sungai.

Masih segar diingatkan waktu banjir bandang tahun lalu. Banjir terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Waktu itu, rumah Ilham sampai terbawa arus. Dengan bantuan warga, alhamdulillah, rumah 5x10 meter itu bisa berdiri kembali.

Ibu Ilham bekerja di luar negeri. Tak pernah pulang lagi sejak melahirkan Ilham. Ayahnya pun demikian. Bukan, Ilham bukan anak hasil hubungan gelap. Kedua orang tuanya menikah resmi. Namun sulitnya mencari penghidupan di kampung, memaksa keduanya untuk merantau. Ibunya memutuskan untuk jadi TKW di Hongkong, sementara ayahnya memilih merantau ke Jakarta. Semenjak itu tidak pernah ada kabar dari keduanya.

Apa cuma Ilham, muridku yang tidak berpunya?. Tidak. Hampir semua yang mengaji di tempatku serupa dengan Ilham. Serupa dalam kepapaan. Tapi setidaknya mereka masih punya kedua orang tua yang mendampingi. Sementara Ilham, seperti yatim piatu meskipun orang tua sebenarnya masih ada.

Seringkali aku melihat Ilham mengejar temannya yang naik sepeda di bawah teriknya matahari sepulang sekolah. Hampir tiap hari malah. Seragam merah putihnya sering terlihat basah oleh keringat. Tubuh kecil itu tampak ngos-ngosan dan kelelahan. Meskipun demikian wajahnya tampak ceria. Entah mengapa, justru itu yang membuatku iba. Ada keinginan di hati, jika ada rezeki lebih mau membelikan sepeda untuknya.

Alhamdulillah dua hari lalu, jasmedku cair. Setelah mampir di beberapa pos pengeluaran untuk bulan ini, alhamdulillah masih tersisa. Cukup untuk membeli sebuah sepeda. Meski second tapi masih tampak kokoh dan terlihat baru. Sepeda itulah yang saat ini terparkir di depan rumah dinasku.

*******

Beberapa minggu kemudian.

Sekelebat kulihat Ilham berlari-lari mengejar temannya seperti sebelumnya. Ku panggil dia.

"Ilham, kemari !"

"Iya, Pak Ustadz" jawabnya sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

"Kemana sepedamu?"

Sepeda itu sudah kuberikan padanya 2 minggu lalu. Dia sudah menyelesaikan hafalan juz 30 nya.

Dengan ragu dia menjawab, " Ru ... rusak, Pak Ustadz"

"Kenapa bisa rusak?"

"Kemarin jatuh, Pak Ustadz. Stirnya lepas"

"Sudah dibawa ke bengkel?"

Dia tertunduk lesu.

"Nenek belum punya uang, Pak Ustadz."

Aku menghela napas. Jujur aku tak tau harus berkata apa.

"Besok bawa kemari sepedanya, kita coba benahi sama-sama"

"Iya Pak Ustadz"

Sudah seharusnya aku mengajari Ilham teknik sederhana memperbaiki kerusakan kecil pada sepeda, agar hadiah yang kuberikan untuk menyenangkannya tidak malah menjadi beban untuk dia dan neneknya.

*********

Sabtu, 17 Februari 2018

Kabut Senja

Pak Suji bersiap-siap berangkat ke terminal. Karyo, temannya, tidak datang menjemput hari ini. Mungkin sakit. Karyo adalah sahabat, sekaligus partnernya 'narik ' angkot. Kalau betul Karyo sakit, biarlah dia 'narik' sendiri. Pak Suji butuh uang. Anak-anak harus bayar uang sekolah.

Lelaki itu memakai topi kesayangannya. Topi yang sudah bertahun-tahun menemani bekerja. Jarak terminal dan rumah tidak terlalu jauh. Dia biasa berjalan kaki ke sana.

Sampai di terminal, Pak Suji tertegun. Kemana angkotnya? Kemana angkot-angkot yang lain? Yang terlihat cuma bus-bus besar. Apa mungkin salah jalan? Tidak, tidak mungkin. Terminal ini sudah seperti rumah kedua baginya. Tiap hari, sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, dia kemari. Tidak mungkin salah.

Pak Suji duduk termenung. Ingin sekali bertanya ke orang-orang yang berlalu-lalang. Tapi mereka bergerak terlalu cepat. Tak mampu dia mengikuti.

Matahari semakin meninggi. Sejak pagi belum ada sesuap nasi pun yang masuk ke perut. Dirogohnya saku baju. Tidak ada uang.
Pak Suji bangkit. Berjalan berkeliling. Berharap ketemu Karyo, Paijo, Waluyo, atau teman-teman 'ngangkot' lainnya. Mau bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Dan juga, barangkali saja mereka ada sedikit uang lebih, yang bisa dia utang untuk beli sekedar  pengganjal perut.

Tidak ada yang dikenalnya. Semua tampak asing.

Tiba-tiba kepalanya pusing berputar. Perut kosong ditambah teriknya matahari yang membakar, membuat tubuhnya lemas. Dicobanya mencari pegangan, tapi tidak dapat. Dan akhirnya gelap. Pak Suji Pingsan.

******

Pak Suji tersadar. Dahinya terasa nyeri. Terpasang plester di sana. Dilihatnya Khairul, anaknya, berbicara dengan seorang berseragam polisi.

"Terima kasih sudah menghubungi kami, Pak. Bapak saya dari pagi keluar rumah. Sudah kami cari kemana-mana tapi tidak ketemu." Dia mendengar suara anaknya menjelaskan.

"Di jaga baik-baik ya, Pak. Jangan sampai hilang lagi."

"Iya, Pak. Terima kasih."

Khairul menghampiri tubuh renta itu. Dengan penuh sesal digenggamnya tangan Pak Suji. Dia teledor lagi menjaga orang tua yang begitu dikasihinya.

Sudah disewanya seorang perawat untuk merawat sekaligus mengawasi Pak Suji. Tapi hari ini perawat tersebut sedang cuti. Sementara sejak pagi buta dia harus ke kantor, karena ada urusan yang harus diselesaikan pagi itu juga. Istrinya ke sekolah, mengambil rapot anak-anak. Pagi ini bapaknya hanya sendirian di rumah.

Pak Suji dulu adalah seorang supir angkot. Dia bekerja siang malam banting tulang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Jerih payahnya membuahkan hasil. Ketiga anaknya menjadi orang berhasil. Khairul, si sulung, adalah pemilik sebuah pabrik tekstil yang lumayan maju. Kedua adiknya, Ridwan dan Sholeh tinggal di luar kota. Ridwan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang, sedangkan Sholeh menjadi kepala sekolah di kota yang sama.

Sejak usaha Khoirul mulai maju, dia meminta ayahnya untuk berhenti 'narik' angkot. Tidak tega rasanya melihat orang tuanya yang sudah mulai renta berpanas-panas demi hasil yang tidak seberapa. Waktu itu kedua adiknya masih kuliah. Dia yang akan mengusahakan seluruh biayanya. Awalnya bapak menolak. Tidak biasa berpangku tangan katanya. Tapi karena sering sakit-sakitan akhirnya dia mau berhenti.

Untuk mengusir sepi dia masih sering ke terminal untuk sekedar ngobrol dengan teman-teman. Di rumah, anaknya terlalu sibuk. Pergi pagi pulang malam. Tidak ada waktu untuknya. Tapi Pak Suji memaklumi. Usaha Khairul yang mulai berkembang memerlukan perhatian lebih.

Beberapa tahun terakhir ini teman-teman Pak Suji mulai pergi satu persatu. Meninggal. Itu yang membuat Suji merasa semakin kesepian.

Ingatannya pun kian lama kian berkurang. Bahkan nama anak-anaknya pun sering terlupa. Tapi anehnya dia tidak pernah lupa jalan ke terminal, tempat biasa dia 'narik' angkot, yang kini sudah berubah jadi terminal bus. Kapan ada kesempatan Pak Suji selalu pergi ke sana. Tapi yang bikin repot dia selalu lupa jalan pulang.

****

Maaf jika ceritanya datar.

Kamis, 15 Februari 2018

Pemakan Bangkai Saudaranya

"Iih ... Mbak Ria ini ... Kenapa diam saja digosipin yang tidak-tidak?"

"Lha Mbak harus gimana, Rin? Harus mencak-mencak dan melabrak Bu Meli begitu?"

"Iya dong, Mbak ... Biar dia tak seenaknya ngomongin Mbak"

"Sudahlah Rin, apa kalau kita labrak dia, terus dia bakal berhenti nggosipin Mbak? Tidak Rin ... Tidak ada jaminan"

"Tapi, Mbak ..."

Rasanya hati ini masih tidak rela. Kakakku yang kalem, tidak pernah ngomongin orang, ringan tangan bantuin siapa saja yang minta pertolongan, menjadi buah bibir tetangga.

Ceritanya, Mbak Ria ini kemarin dilamar oleh teman kuliahnya. Mereka tidak pacaran. Prosesnya melalui ta'aruf. Dari proses lamaran hingga pernikahan memang cukup singkat, cuma 2 minggu. Pihak pria memang menghendaki pernikahan segera dilaksanakan, karena Mas Ibrahim, calon kakak iparku, akan melanjutkan pendidikannya di Jepang. Kakak akan dibawa serta ke sana.
Itu yang membuat tetangga pada ribut. Dibilang Mbak Ria hamil duluanlah, kejar targetlah, dan entah apalagi yang mereka bilang. Dan yang paling ribut tentu saja Bu Meli.

Aku tidak tahu salah apa Mbak Ria padanya. Selalu ada saja bahan gosipnya. Waktu kakakku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogya, dia sibuk kesana kemari bilang kalau kakakku nggak akan sanggup lulus dari sana.

"UG* kan tempatnya orang pinter-pinter, tidak mungkin deh si Ria bisa ngikutin, hanya beruntung saja dia bisa lolos SMPTN," katanya waktu itu.

"Kalau pun bisa, biayanya kan mahal sekali. Apa mampu bapaknya biayai sampai selesai?"

Kata-kata seperti itu yang dia sebar kemana-mana. Dan waktu Mbak Ria lulus, ada lagi gosipnya.

"Palingan dia kerja yang aneh-aneh di kota, untuk biaya kuliahnya."

Apalagi setelah beberapa tahun lulus ternyata kakakku belum nikah, ada lagi gosipnya. Sebutan perawan tua, dia juga yang nyebar-nyebarin ke tetangga.

Dan kakakku hanya diam saja. Itu yang bikin aku tambah kesel.

"Rin ... Hidup itu pilihan. Saat dihina orang, kita juga punya dua pilihan. Mau marah bisa, dengan resiko kita terputus silaturrahim dengan tetangga. Tidak enak Rin, hidup berdampingan tapi musuh-musuhan. Dan marah-marah bikin cepat tua lho," kata Mbak Ria sedikit bercanda.

"Dan Mbak memilih pilihan kedua, Rin. Disenyumin saja. Toh kalau tuduhannya tidak terbukti, mereka akan diam sendiri," lanjutnya.

"Tapi Mbak, mereka sudah keterlaluan sekali ... Terputus silaturrahim ya biar saja Mbak. Tidak ada untungnya bertetangga dengan tukang gosip"

"Huss ... Tidak boleh ngomong begitu. Dosa Rin. Tetangga itu saudara deket kita, Rin. Kalau ada apa-apa siapa yang akan nolong kita kalau bukan mereka?"

Aku terdiam.

"Biarlah Rin, toh tidak tiap hari mereka gosipin kita. Capek juga kali, kalau kita ladenin. Capek hati, capek pikiran."

Meski belum bisa menerima sepenuhnya, aku mengiyakan.

****

Dua tahun sudah Mbak Ria tinggal di Jepang. Sudah tidak ada lagi gosip tentangnya. Tapi ....

"Si Rini, kok tidak sepintar kakaknya ya. Sudah itu kelakuannya itu lho kayak cowok. Jangan-jangan dia itu LG*T."

Tak sengaja kudengar gosip itu waktu ke warung. Ingin rasanya marah-marah saat itu juga. Tapi teringat pesan Mbak Ria.

"Marah-marah hanya akan membuat mereka semakin senang. Kita baikin mereka. Lama-lama akan sungkan sendiri."

Ah Mbak Ria ... Andai setengah saja aku bisa mencontoh kesabaranmu.

Nganjuk, 16022018

Senin, 12 Februari 2018

Menikah lagi?

Masih terngiang-ngiang di telinga, apa yang dikatakan istri saat aku bertanya bolehkah menikah lagi.

"Kamu boleh nikah lagi. Tapi sebelum itu, coba bayangkan dulu seandainya yang menikah lagi itu aku, bagaimana perasaanmu?"

Membayangkan dia dengan lelaki lain? Jujur, aku tidak sanggup. Sepuluh tahun menikah, memang tidak selamanya penuh tawa, tapi kami bahagia. Istriku, memang bukan wanita yang sempurna, tapi dia istri yang baik. 
Kesibukan mengurus rumah-tangga menguras hampir seluruh waktunya, membuatnya kadang tidak sempat mengurus dirinya sendiri. Memasak, mencuci , bersih-bersih dan pekerjaan rumah lainnya seakan-akan tidak ada habisnya. Belum lagi 2 balita kami yang membutuhkan perhatian ekstra. Dia melakukan itu tanpa sedikit pun mengeluh.

Aku ingat lagi, saat awal-awal pernikahan, saat gajiku di kantor masih kecil. Dia begitu jeli mengatur keuangan. Gaji yang tak seberapa tersebut diaturnya sehingga cukup untuk sebulan. Dengan kepandaian mengatur keuangan itu pula, dengan posisiku yang sekarang, kami bisa membangun rumah dan mengangsur mobil. Teman-temanku seleting masih banyak yang mengontrak. Boleh dibilang pencapaianku saat ini adalah berkat dorongan dan doa darinya.

Sekarang dia memang tidak selangsing waktu pertama menikah. Tidak semodis waktu pertama bertemu. Tapi aku masih sangat mencintainya.

Dan membiarkan lelaki lain bersamanya? Membayangkannya saja sakit. Jantungku seperti terenggut dari tempatnya.

Ah ... Itu juga mungkin yang dia rasa, seandainya pernikahan ini benar terjadi.

"Kalau menurutmu tidak sakit, biasa saja, kamu boleh poligami. Aku akan berusaha ikhlas." Lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.

Kupeluk erat istriku. Meski cuma pertanyaan bercanda, ternyata  begitu melukainya. Tidak sayang, jangan bersedih. Poligami memang dibolehkan. Tapi kalau istri satu saja, aku belum sepenuhnya bisa membahagiakannya, bagaiamana mungkin aku menambah beban lagi.

Poligami itu bukan hanya tentang menambah koleksi istri, tapi ada tanggung jawab besar di sana. Tanggungjawab yang bukan saja di dunia, tapi juga di akhirat. Dan aku belum sanggup memikulnya.

Jumat, 09 Februari 2018

Balasan Yang Tak Terduga (2)

Rahim memutuskan untuk pulang saja. Pikirannya sudah buntu. Tak tau kemana lagi langkahnya akan menuju. Dengan gontai dia menyusuri panasnya jalanan kota menuju rumahnya. Lapar, haus, lelah berkumpul menjadi satu. Tiba-tiba saja kepalanya pusing berputar, seperti melayang. Pandangnya gelap. Pingsan.

*****
Mas Rahim ditemukan pingsan oleh warga. Alhamdulillah ada Pak Nur tetanggaku yang mengenalinya. Setelah sadar, Pak Nur mengantarkan pulang ke rumah.

"Woalah Mas ... bagaimana ceritanya kok sampai pingsan di jalan? Kita ke puskes saja ya, Mas, biar diperiksa?"

"Tidak perlu, Dik ... Mas baik-baik saja kok. Anak-anak mana?"

"Mereka sedang makan di belakang, Mas"

"Dapat uang darimana?"

"Tadi Pak Budi datang, kasih uang ke Mas. Rumahnya laku terjual. Uangnya saya ambil sebagian untuk beli beras dan lauk untuk anak-anak, nggak apa-apa to, Mas?"

Kuserahkan amplop pemberian Pak Budi ke suami. Tampak airmata meleleh dari sudut matanya.

"Masyaallah ... Alhamdulillah"

Hanya itu yang terucap dari bibir Mas Rahim. Terucap dengan penuh rasa haru dan syukur.

*****

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39).

******

Rabu, 07 Februari 2018

Balasan Yang Tak Terduga (1)

"Mii ... lapar ... " Rengek putri bungsuku.

Aku sudah kehabisan akal untuk membujuknya. Dua kakaknya mencoba mengajaknya bermain. Tapi mereka sendiri juga nampak lesu, tidak bersemangat. Dari kemarin sore  memang tidak ada makanan yang bisa dimasak. Persediaan beras habis. Abinya sudah keluar rumah sejak subuh tadi, mencari rezeki untuk sekedar makan kami sekeluarga hari ini, tapi sampai matahari meninggi belum juga sampai.

"Sebentar Putri, Abi masih keluar beli beras, nanti kalau Abi pulang, bantu Umi masak ya." Aku mencoba menghiburnya.

"Iya, Umiii ... Masih lama tidak, Abi beli berasnya?"

"Mudah-mudahan sebentar lagi pulang"

Sebulan yang lalu Mas Rahim, abinya anak-anak terserempet mobil  saat sedang berjualan. Lukanya tidak parah, cuma lengan tangan kanannya sedikit retak. Rombong baksonya terguling ke selokan. Dan isinya tidak bisa terselamatkan. Pengemudi mobil kabur. Sisa tabungan kami habis untuk biaya berobat dan kebutuhan sehari-hari sebelum suamiku bisa bekerja kembali.

Beberapa hari ini nyeri di tangannya sudah mulai berkurang. Niat hati mau berjualan lagi. Tapi modal sudah terlanjur habis. Suamiku berusaha mencari pinjaman modal kesana-kemari, tapi belum dapat.

"Tok ... tok ... "

Ah ... Itu mungkin Mas Rahim. Mudah-mudahan membawa berita baik. Aku sudah tidak sanggup melihat wajah anak-anakku yang memelas menahan lapar.

"Oh, Pak Budi." Ternyata temannya suamiku yang datang.

"Silakan duduk, Pak." Kupersilakan tamuku duduk di kursi teras.

"Mas Rahim ada, Bu?"

"Suami saya sedang keluar, mungkin sebentar lagi pulang. Ada perlu apa ya, Pak, biar nanti saya sampaikan?"

"Oh ... Cuma mau menyampaikan ini, Bu" Pak Budi menyerahkan sebuah amplop.

"Apa ini Pak?"

"Rumah saya sudah laku terjual Bu, atas perantara Pak Rahim. Ini sedikit rasa terima kasih dari kami"

"Tidak perlu seperti ini, Pak. Suami saya insyaallah ikhlas menolong"

"Saya mohon diterima bu. Ini jumlahnya tidak banyak. Mudah-mudahan bisa sedikit membantu menambah modal buat jualan lagi."

Pak Budi meletakkan amplop itu di meja.

"Saya pamit dulu ya Bu. Assalamualaikum."

"Wa ... wa'alaikumussalam warahmatullah"

Aku termangu. Sampai-sampai lupa mengucapkan terima kasih kepada Pak Budi. Kuraih amplop putih tebal itu. Dan tak henti-henti mengucap syukur, atas rezeki- Nya yang tak terkira.

*******

Beberapa saat sebelumnya di jalanan.

Rahim sedang kebingungan. Kemana lagi harus mencari pinjaman. Sudah diketuk pintu rumah saudara dan beberapa teman dekatnya. Tapi jawabanya sama. Mereka juga sedang tidak punya uang. Dengan lesu dia duduk di dekat sebuah halte. Pengen pulang ke rumah, tapi tidak tega melihat wajah kecewa istrinya. Isti, istri yang baik, tidak banyak menuntut. Tapi beberapa hari ini Rahim tau istrinya sering menahan tangis saat anak-anak merengek kelaparan. Sering dia relakan jatah makannya, agar anak- anak mendapat porsi sedikit lebih banyak.

Rahim sedikit terkejut mendengar tangis anak kecil di sebelahnya.
Anak itu berbaju lusuh dan tampak kurus sekali. Dia menangis sambil memegangi perutnya. Di sebelahnya tampak ibu-ibu setengah baya dengan penampilan yang sama.

"Anaknya kenapa, Bu?"

"Sudah dua hari ini kami tidak mendapatkan makanan Pak. Bahkan sisa-sisa makanan di sana juga tidak ada" ucapnya sambil menunjuk tempat sampah di depan sebuah restoran.

"Ah ... Ada yang lebih kurang beruntung daripada kami ternyata." ucap Rahim dalam hati.

Dia merogoh saku bajunya. Masih ada uang 10 ribu yang sebenarnya untuk ongkos kendaraan. Sengaja Rahim berjalan kaki saat berangkat tadi. Agar uang itu bisa dia gunakan untuk membeli beras jika nanti tidak mendapatkan uang pinjaman.
Dia berikan uang itu kepada si ibu

"Ini Bu ada sedikit uang buat beli makan."

"Terima kasih banyak Pak. Mudah-mudahan Bapak diberikan kelimpahan rezeki. Rezeki yang barakah."

"Aamiin.."

Entah mengapa ada sedikit rasa lega di hatinya. Mudah-mudahan ada rezeki lain untuk dia dan anak-anaknya hari ini. Harapnya.

*******

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita.

Selasa, 06 Februari 2018

Teriakan Emak

"Riiiinnn ... itu anakmu didiemin ... !"

"Iya, Mak"

Untuk kondisi biasa, sebal sekali diteriaki seperti itu. Menangis meraung-raung adalah senjata andalan anakku kalau permintaannya tidak dipenuhi. Seperti hari ini, dia heboh minta boneka baru, padahal seminggu yang lalu dia baru beli. Ya, tidak kukasih. Nangis nangislah. Takutnya kalau diikuti terus apa maunya, akan jadi kebiasaan saat dewasa kelak. Tapi Neneknya berpendapat lain.

"Diturutin aja to Rin, kasian. Lagian tidak enak sama tetangga."

Biasanya aku akan membantah perkataan emak, tapi tidak kali ini.

Sudah sebulan ini emak terbaring sakit. Tiap berjalan dia ngos-ngosan dan berkeringat banyak, kemudian lemas. Selain itu, emak juga terjaga terus, tidak merasa ngantuk sama sekali. Kalau sehari dua hari mungkin masih wajar. Lha ini sampai berhari-hari.

Sudah kuperiksakan ke dokter spesialis penyakit dalam katanya normal semua. Ke spesialis jantung juga demikian, katanya jantungnya juga sehat. Yang belum ke dokter jiwa, tapi emak menolak. Takut di cap gila katanya. Padahal sudah berbusa-busa dijelaskan, bahwa yang ke dokter jiwa itu bukan yang gila saja. Gangguan tidur seperti yang dialami emak juga termasuk gangguan kejiwaan. Ah ... tapi apa daya diri ini kalau emak sudah memberi ultimatum. Sekali tidak tetap tidak.

Dokter menyarankan untuk dirawat inap. Tapi lagi-lagi emak menolak. Mau rawat jalan saja. Masih kuat. Toh lemesnya cuma kalau jalan , kalau duduk atau berbaring tidak merasakan apa-apa, alasannya. Sebenarnya kali ini aku mau membantah. Menurutku lebih aman kalau di RS, banyak tenaga kesehatan yang akan mengontrol. Kalau di rumah, misal ada apa-apa aku bisa apa. Emak bersikeras. Ya sudahlah rawat jalan, daripada emak tambah stres nanti gara-gara tak betah di RS.

Masalah timbul lagi. Setiap minum obat dari dokter emak 'dredeg'. Keringat semakin banyak yang keluar dan mata semakin tidak bisa terpejam. Padahal obat dari dokter cuma 2 macam, vitamin sama obat tidur. Sudah dicoba minum setengah-setengah tapi tetep saja. Emak mutung, tidak mau meminumnya lagi. Aku coba belikan obat herbal, efeknya tetap sama. Akhirnya pengobatan dihentikan.

Alhamdulillahnya emak masih mau makan. Minum juga biasa. Jadi tubuhnya tidak terlalu lemas.

Usaha terakhir tinggal do'a. Tiap makan dan minum aku minta emak untuk membaca alfatihah dan meniatkanya agar menjadi obat. Sambil tak lupa setiap sholat kami berdoa untuk kesembuhan emak. Kami pasrahkan semua kepada Yang Maha Penyembuh.

Nah, ceritanya dua hari yang lalu tiba-tiba saja sakitnya emak sembuh. Kami kaget sekaligus bersyukur sekali. Emak bercerita, malem sebelumnya, setelah berhari-hari tidak tidur, tiba-tiba dia mengantuk berat. Dalam tidurnya beliau bermimpi, melihatku sedang memarahi dan mengusir dua bayangan yang tidak jelas siapa.

"Siapa itu, Nduk?"

"Biar Emak, biar mereka pergi jauh, tidak mengganggu Emak lagi," 

Emak terbangun ketakutan. Tapi sejenak kemudian badannya terasa segar.  Emak coba berjalan keluar kamar. Bisa. Tidak merasa sesak dan lemas lagi. Dia coba berjalan lebih jauh lagi, masih kuat. Dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur dia menuju kamarku.

"Nduk ... bangun, Nduk ... Alhamdulillah Emak  sembuh."

Dan hari ini Emak bisa meneriaki aku. Itu tandanya emak sudah benar-benar pulih. Aku tak tahu ada tidaknya hubungan antara mimpinya emak dan kesembuhannya. Yang jelas, bisa melihat surgaku di dunia kembali sehat, merupakan anugerah yang tak terkira. Berarti masih ada kesempatan untuk berbakti padanya. Diomeli sedikit tak apa-apalah. ^_^

Sabtu, 03 Februari 2018

Menikah #fiksi_5

Besok adalah hari pernikahanku. Seorang gadis manis pengahafal qur'an insyaallah akan resmi jadi pendampingku. Bahagia tentu saja. Gadis seperti dia sudah langka barangkali. Disaat yang lain bersenang-senang, katanya, menikmati masa muda, dia menyibukkan diri dengan alqur'an. Masyaallah. Itulah yang membuatku tanpa ragu sedikitpun memilihnya jadi ibu buat anak-anakku kelak.

Dan alhamdulillah tidak bertepuk sebelah tangan, dia dan keluarganya menerima pinanganku.

Tapi sejujurnya hati ini masih ragu, bisakah membahagiakanya?.
Selepas mondok aku menjadi pengajar honorer di salah satu madrasah di kotaku. Meski gaji kecil tapi alhamdulillah sampai hari ini tak membuatku merasa kekurangan. Tapi bagaimana nanti setelah menikah?.

Aku tau calon istriku adalah gadis yang baik. Halus tutur katanya dan penyabar. Darimana tahunya? Dari teman-temanya, tetangganya, dan saudara-saudaranya. Yah, dari merekalah aku sedikit mengenalnya. Meski demikian bisakah dia mengikuti gaya hidupku yang serba  seadanya?.

Sempat kuutarakan kegelisahanku itu pada Ustadz Zul yang kebetulan adalah kepala sekolah tempat aku mengajar.

"Menikah itu membuka pintu rezeki Haris. Saat masih bujang, yang lewat ke kamu ya rezekimu saja. Setelah menikah akan ada jalan rezeki untuk istrimu dan anak-anakmu,"
kata Ustadz Zul waktu itu.

"Coba Haris, bacakan surat An-Nur ayat 32," pinta Ustadz Zul.

Haris pun membacakanya dengan merdu.

"Artinya?,"

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui," Haris mengartikan dengan lancar.

"Renungkan ayat tersebut Haris, dalami maknanya agar keraguan itu hilang dari hatimu."

"Iya, Ustadz," jawabku.

Hening sejenak.

"Kamu sudah menjelaskan kondisimu ke Rahmah dan orang tuanya, kan?" lanjutnya.

Oh iya, Rahmah adalah nama calon istriku.

"Sudah Ustadz," jawabku.

"Dan mereka menerimanya?"

"Iya, Ustadz"

"Ya sudah, apalagi yang membuatmu ragu? Yakin dengan janji Allah, Har," tegas Pak Ustadz.

Wejangan beliau sedikit menenangkanku.

Pernikahan alhamdulillah berjalan lancar. Setelah menikah kami memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah. Kami ingin belajar mandiri. Malu rasanya jika setelah menikah masih bergantung sama orang tua. Rumah kontrakan kami adalah rumah petakan sempit. Hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu dan ruang kecil yang kami fungsikan untuk dapur. Sementara kamar mandi, adanya kamar mandi luar yang dipakai bersama penghuni rumah petakan lainnya. Kurang ideal tentu saja, tapi hanya itu yang mampu kami sewa.

"Tak apa-apa, Bang,  Rahmah sudah terbiasa di pondok. Ini jauh lebih luas dari kamar pondok Rahmah dulu. Asal berdua sama Abang, Rahmah bahagia," ucapnya ceria.

Ah.. Rahmah, aku terharu mendengarnya. Engkau memang istri yang sholihah. Saat ini aku memang belum bisa memberikan apa-apa padamu. Tapi aku akan berusaha lebih keras, agar kelak bisa membangunkan istana buatmu dan anak-anak kita. Itu janjiku bidadariku.

Kamis, 01 Februari 2018

Istri Kedua #fiksi_4

"Kamu sudah benar-benar siap, Ra jadi istri kedua?," tanyaku menyelidik.

"Insyaallah siap, Mbak," jawabnya mantap.

"Dengan segala resikonya? Dengan segala stigma yang akan kau terima dari masyarakat?"

Dia menghela napas.

"Bukannya sekarang pun anggapan masyarakat padaku sudah jelek Mbak?," dia balas bertanya.

Aku tertegun. Rani, sahabatku adalah janda tanpa anak. Suaminya meninggal karena kecelakaan lalu lintas 3 tahun yang lalu. Janda dengan usia yang masih tergolong cukup muda menjadikan bisik-bisik masyarakat sering mengarah padanya. Apalagi pekerjaan Rani sebagai pelayan restoran yang tiap hari mengharuskanya pulang malam semakin membuatnya jadi bahan gunjingan.

"Dan menikah dengan Pak Gun yang sudah beristri hanya akan semakin membenarkan anggapan mereka Ra," lanjutku.

Rani terdiam. Pak Gun adalah pemilik restoran tempat Rani bekerja. Orangnya baik dan sangat perhatian. Beliau sangat ringan tangan membantu kesulitan karyawanya. Tidak, tidak ada perasaan atau perhatian khusus terhadap Rani. Semuanya sama.

Sampai suatu ketika karena suatu hal Rani harus ke rumah Pak Gun.  Dari situ dia berkenalan dengan istrinya. Bu Leni, istri Pak Gun, sama baiknya dengan suaminya. Cantik dan ramah. Rani menjadi cepat akrab dengan beliau. Atas permintaan Bu Leni pula, Rani sering mampir ke rumah Pak Gun.

Persahabatan Rani dan Bu Leni  semakin erat. Hingga suatu ketika tanpa diduga Bu Leni dengan setengah memohon meminta Rani untuk menikahi suaminya. Rani sangat terkejut. Tentu saja Rani menolak. Tidak mungkin Rani menyakiti perempuan yang sudah sangat baik padanya, menyakiti sahabatnya.  Tapi Bu Leni terus memohon. Pernikahanya dengan Pak Gun yang sudah 10 tahun belum dikaruniai anak. Seorang anak yang  sebenarnya sangat dirindukan suaminya meskipun tak pernah terucap. Lambat laun hati Rani luluh juga. Yah, dia bersedia menikah dengan bosnya. Meski belum ada cinta di sana. Meski akan jadi cibiran masyarakat nantinya.  Rani bersedia demi sahabatnya.

Dan hari ini adalah hari pernikahan Rani dengan Pak Gun.

Terdengar suara mobil dari depan. Sepertinya itu mobil yang akan menjemput Rani ke tempat akad nikah. Aku dan Rani keluar untuk menyambut mereka.  Tampak seorang wanita cantik berkebaya putih turun dari mobil dengan dibantu sopirnya. Dia menuju ke arah kami dengan kursi rodanya. Iya, dia adalah Bu Leni. Bu Leni mengalami stroke 4 tahun yang lalu. Sebagian tubuhnya mati rasa. Itu yang menyebabkan dia tidak bisa melayani suaminya dengan sempurna. Dan itu pula yang menyebabkan Rani meski dengan berat hati menerima menjadi madunya, agar bisa sekaligus merawat Bu Leni sahabatnya.