"Benaran, Jo, gosip di luaran sana?" Tanya Paimin pada sahabatnya, Paijo.
Kebetulan tinggal mereka berdua yang berada di pos ronda. Yang lain sudah pada pulang.
"Gosip apaan?" Pria berkulit cokelat gelap itu balas bertanya. Matanya tak beralih dari layar ponsel pintar.
"Katanya kamu sudah nyiapin duit 2 M untuk nyaleg tahun ini."
Gosip inilah yang berhari-hari mengganggu pikiran Paimin. Sebagai sahabat, dia mengerti betul kondisi pria pendek kekar tersebut. Pekerjaannya sehari-hari sebagai tukang ojek online, sepertinya sangat mustahil mengumpulkan uang sebanyak itu. Tinggal saja masih di pondok mertua indah.
Paijo mendaftar sebagai caleg, baginya sudah terbilang nekat. Pendidikan hanya SMA. Belajar politik cuma lewat googliyah. Meski diakui, ide-ide cemerlangnya, kadang mengalahkan mereka yang lulus kuliah. Tapi pengalaman nol besar. Jangankan sebagai wakil rakyat, sebagai ketua RT saja belum pernah.
Ketika ditanya kenapa nyaleg, dia bilang ingin melakukan sesuatu untuk masyarakat. Dia sudah jenuh dipimpin oleh orang-orang yang hanya mementingkan perutnya sendiri. Paijo ingin berbuat sesuatu yang nyata, bukan hanya sekadar koar-koar di dunia maya, mencela penguasa.
"Sebagai tukang ojek, aku sudah menjelajahi hampir seluruh kota ini. Itu modal, Min!" ucapnya ketika ditanya, modalnya apa kok berani-beraninya mendaftar caleg.
"Lagian aku punya Allah. Kalau Dia ridho, biar segenap alam menghalangi, tak akan ada artinya apa-apa, Min!" ucapnya mantap. Membuat Paimin menjadi yakin untuk mendukung sahabatnya.
Dan sekarang terdengar kabar demikian? Parmin sebagai pendukung setia, tentu meradang.
"Emang bener," jawab Paijo enteng.
Paimin terhenyak.
Sudah mahfum, pemilihan umum secara langsung seperti yang diterapkan di negeri antah berantah ini sangat rentan terjadi 'money politic'. Ibaratnya, tak ada uang suara melayang. Jangankan jabatan stategis sebagai wakil rakyat, untuk menjadi ketua RT saja perlu pelicin, agar jalan meraih kekuasaan tak ada hambatan.
Paijo pernah berucap, politik uang hanya akan menghasilkan pejabat-pejabat yang korup.
Lha sekarang buat apa coba uang 2 M, kalau bukan untuk membeli suara. Apa bedanya dia dengan yang lain?
"Uang darimana, Jo? Kamu pelihara tuyul? Atau merampok?" ucap Paimin menahan emosi.
"Suudzon amat sama teman!" Paijo masih tak bergeming dari layar 4 inchinya.
"Habis darimana kamu dapat uang? Dan lagi, mana idealismu, yang katanya tidak mau pakai politik uang? Aku kecewa padamu, Jo!" runtuk Paimin.
Paijo menoleh, menatap sahabat seprofesinya itu sejenak.
"Aku memang sudah menyiapkan uang 2 M, DUA EMBER. Itupun recehan semua. Tabungan anak-anak." Paijo menahan gelak.
Paimin bengong.
"Jadi bukan 2 Milyar?"
"Ya, bukanlah. Uang segitu dapat darimana? Jual lapangan desa?" Paijo tertawa lepas.
"Gosip kok kamu percaya, Min Min. Daripada dengerin gosip, mendingan noh, dengerin Mamah Dedeh, biar hati lapang, tidak mudah berburuk sangka sama orang."
"Syukurlah ... awalnya mau minta bagian e, Jo." ujar Paimin. Bercanda sepertinya.
"Kalau kamu mau, aku masih ada 2 M lagi." Paijo merebahkan badan. Rupanya masih belum berniat pulang.
"Apa? Cucian?" tebak Paimin.
"Tahu aja ... barangkali saja mau bantu nyuciin."
"Ogah," ucap Paimin bersungut-sungut. Dia pun ngeloyor pergi tanpa berucap salam.
"Hati-hati!"
Tak ada jawaban.
Tak lama kemudian, Paijo pun terlelap. Tanpa sadar ada sesosok wanita berambut panjang datang. Membawa sapu ijuk di tangan. Istrinya.
Entahlah, apa yang terjadi berikutnya.
END
¤¤¤¤
Masih belajar. Mohon Kritik dan Saran. ^_^