Rabu, 04 April 2018

"Ish ... apaan sih orang ini? ngomong kok nggak dipikir," runtuk Hafidz. Matanya tak lepas dari ponsel yang dipegang.

"Kenapa, Fidz? Kok dari tadi ngomel-ngomel sendiri?" ucapku seraya menutup mushaf yang sudah selesai kubaca.

"Ini lho, putri bapak presiden pertama kita, bikin pernyataan yang menyakiti kita sebagai orang islam." Hafidz menjelaskan.

"Pernyataan apa memangnya?"
Aku tidak terlalu mengikuti berita. Karena di jaman sekarang susah sekali membedakan berita yang benar atau yang hanya settingan belaka. Belum lagi berita hoax yang sering bikin sakit kepala.

"Katanya konde lebih indah dari cadar dan kidung lebih merdu dari suara adzan, apa ngga keblinger itu?" ucap Hafidz berapi-api. Hafidz lebih muda beberapa tahun dariku. Jiwa mudanya membuat semangat berdakwahnya begitu menggebu - gebu.

"Salahnya dimana,Fidz?" tanyaku ingin mengetahui pemikiran pria tinggi kurus itu.

"Ya jelas salah to, Mas. Itu namanya menghina syari'at Allah."

Aku berpikir sejenak. Mencoba mencari sudut pandang lain dari masalah yang ada.

"Gini, Fidz. Sebagian penduduk Indonesia ini muslim, bukan?"

"Tak perlu dipertanyakan lagi itu mah ..."

"Berapa persen muslimahnya yang bersedia memakai cadar, padahal itu katamu tadi itu syari'at?"

"Cuma sedikit sekali, Mas. Tapi bukan berarti konde lebih bagus dari cadar 'kan, Mas?"

"Kenyataannya memang demikian, mau gimana lagi? Kalau para muslimah mengerti dan memahami syari'at Allah, tentu kita tak akan melihat di Indonesia ini wanita yang memamerkan auratnya. Tapi nyatanya?"

Hafid terdiam.

"Begitu pula adzan, Fidz. Bisa kamu lihat, mana yang lebih banyak, yang menjawab panggilan adzan atau yang datang di acara dangdutan di kampung?"

"Tapi, Mas!"

"Pernyataan Ibu itu harusnya membuat kita merenung, seperti itulah kondisi masyarakat kita sekarang. Banyak yang mengaku islam tapi pada dasarnya tidak paham apa itu islam. Tugas kita mengajak mereka dengan cara yang ma'ruf. Mulai darimana? Ya dari diri sendiri, keluarga kecil kita, teman-teman kita atau kalau mampu mengajak masyarakat luas. Bukankah setiap muslim itu adalah da'i?"

Hafidz kembali terdiam. Mungkin sedang mencerna apa yang aku katakan.

"Marah-marah tidak akan menyelesaikan masalah, Fidz, hanya akan semakin menjauhkan mereka dari syar'at."

"Tapi bukankah Nabi juga marah kalau agama islam dihina, Mas?"

"Marah pada tempatnya, Fidz, pada jalur yang benar. Bukan dengan cara menghujat atau membully, karena itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Hanya akan membenarkan anggapan mereka tentang umat islam, bahwa kita ini anarkis, teroris dan entah apa lagi."

"Iya, Mas. Saya sedikit mengerti. Tapi sangat disayangkan kalimat seperti itu harus keluar dari putri seorang panutan bangsa."

Aku tersenyum.

"Kalimatnya itu betul, Fidz. Betul bagi mereka yang nggak paham syari'at. Anggap saja kita dan beliau ini sedang menuju arah yang berbeda, Fidz. Jadi peta yang digunakan pun berbeda."

Hafidz pun mengganguk.

Dari jauh terdengar suara adzan.

"Ah ... sudah isya. Ayo kita ke masjid."

Kami pun segera menuju masjid, memenuhi panggilan Rabb kami. Tak ada yang lebih merdu dari panggilan cinta ini, bagi yang meyakini. Untuk yang tidak menyakini kenapa harus dipaksakan. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar