Jumat, 06 April 2018

2 M

"Benaran, Jo, gosip di luaran sana?" Tanya Paimin pada sahabatnya, Paijo.

Kebetulan tinggal mereka berdua yang berada di pos ronda. Yang lain sudah pada pulang.

"Gosip apaan?" Pria berkulit cokelat gelap itu balas bertanya. Matanya tak beralih dari layar ponsel pintar.

"Katanya kamu sudah nyiapin duit 2 M untuk nyaleg tahun ini."

Gosip inilah yang berhari-hari mengganggu pikiran Paimin. Sebagai sahabat, dia mengerti betul kondisi pria pendek kekar tersebut. Pekerjaannya sehari-hari sebagai tukang ojek online, sepertinya sangat mustahil mengumpulkan uang sebanyak itu. Tinggal saja masih di pondok mertua indah.

Paijo mendaftar sebagai caleg, baginya sudah terbilang nekat. Pendidikan hanya SMA. Belajar politik cuma lewat googliyah. Meski diakui, ide-ide cemerlangnya, kadang mengalahkan mereka yang lulus kuliah. Tapi pengalaman nol besar. Jangankan sebagai wakil rakyat, sebagai ketua RT saja belum pernah.

Ketika ditanya kenapa nyaleg, dia bilang ingin melakukan sesuatu untuk masyarakat. Dia sudah jenuh dipimpin oleh orang-orang yang hanya mementingkan perutnya sendiri. Paijo ingin berbuat sesuatu yang nyata, bukan hanya sekadar koar-koar di dunia maya, mencela penguasa.

"Sebagai tukang ojek, aku sudah menjelajahi hampir seluruh kota ini. Itu modal, Min!" ucapnya ketika ditanya, modalnya apa kok berani-beraninya mendaftar caleg.

"Lagian aku punya Allah. Kalau Dia ridho, biar segenap alam menghalangi, tak akan ada artinya apa-apa, Min!" ucapnya mantap. Membuat Paimin menjadi yakin untuk mendukung sahabatnya.

Dan sekarang terdengar kabar demikian? Parmin sebagai pendukung setia, tentu meradang.

"Emang bener," jawab Paijo enteng.

Paimin terhenyak.

Sudah mahfum, pemilihan umum secara langsung seperti yang diterapkan di negeri antah berantah ini sangat rentan terjadi 'money politic'. Ibaratnya, tak ada uang suara melayang. Jangankan jabatan stategis sebagai wakil rakyat, untuk menjadi ketua RT saja perlu pelicin, agar jalan meraih kekuasaan tak ada hambatan.

Paijo pernah berucap, politik uang hanya akan menghasilkan pejabat-pejabat yang korup.

Lha sekarang buat apa coba uang 2 M, kalau bukan untuk membeli suara. Apa bedanya dia dengan yang lain?

"Uang darimana, Jo? Kamu pelihara tuyul? Atau merampok?" ucap Paimin menahan emosi.

"Suudzon amat sama teman!" Paijo masih tak bergeming dari layar 4 inchinya.

"Habis darimana kamu dapat uang? Dan lagi, mana idealismu, yang katanya tidak mau pakai politik uang? Aku kecewa padamu, Jo!" runtuk Paimin.

Paijo menoleh, menatap sahabat seprofesinya itu sejenak.

"Aku memang sudah menyiapkan uang 2 M, DUA EMBER. Itupun recehan semua. Tabungan anak-anak." Paijo menahan gelak.

Paimin bengong.

"Jadi bukan 2 Milyar?"

"Ya, bukanlah. Uang segitu dapat darimana? Jual lapangan desa?" Paijo tertawa lepas.

"Gosip kok kamu percaya, Min Min. Daripada dengerin gosip, mendingan noh, dengerin Mamah Dedeh, biar hati lapang, tidak mudah berburuk sangka sama orang."

"Syukurlah ... awalnya mau minta bagian e, Jo." ujar Paimin. Bercanda sepertinya.

"Kalau kamu mau, aku masih ada 2 M lagi." Paijo merebahkan badan. Rupanya masih belum berniat pulang.

"Apa? Cucian?" tebak Paimin.

"Tahu aja ... barangkali saja mau bantu nyuciin."

"Ogah," ucap Paimin bersungut-sungut. Dia pun ngeloyor pergi tanpa berucap salam.

"Hati-hati!"

Tak ada jawaban.

Tak lama kemudian, Paijo pun terlelap. Tanpa sadar ada sesosok wanita berambut panjang datang. Membawa sapu ijuk di tangan. Istrinya.

Entahlah, apa yang terjadi berikutnya.

END
¤¤¤¤

Masih belajar. Mohon Kritik dan Saran. ^_^

Rabu, 04 April 2018

Bohong Putih

'Ayik duluan ...'

'Abi duluan, Ayik ... Sudah adzan, nanti Abi telat ke masjid'

'Nggak mau ... pokoknya Ayik duluan'

Aku mendengar suara ribut-ribut dari kamar mandi. Ah ... pasti dua bocah beda generasi itu bertengkar lagi. Heran sama mereka, ada saja yang diributin. Yang besar, sukanya ngerjain apa-apa tepat pada waktunya, 

Mau tak mau, mamanya harus turun tangan. Kalau tidak, pasti bakalan ada yang nangis, dan satunya tidak jadi ke masjid.

"Yik, Ayik ... eh, itu sapinya mbah kenapa, ya? Kok kepalanya lengket?" ucapku sedikit berteriak.

Sengaja aku memancing rasa penasaran bocah kecil itu. Memancing rasa ingin tahunya kurasa lebih ampuh saat ini daripada menyuruhnya untuk keluar.

Sejurus kemudian keluarlah dia dari kamar mandi. Cepat-cepat abinya menutup pintu.

Berhasil.

"Kenapa, Ma? Sapinya kenapa?" ucapnya 'kepo'.

"Kepalanya sapi lengket" Kujawab dengan suara agak didramatisir, biar terasa suasana tegangnya.

"Lengket di mana,Ma?"

"Di lehernya ... coba itu lihat" Aku masih sok serius.

"Ayik mau lihat ... Ayik mau lihat!"
Bocah 4 tahun itu terlihat antusias, belum mengerti kalau sedang dikerjain mamanya.

Dengan menahan gelak, aku pun mengajaknya mendekat ke arah kandang, melihat sapi yang lehernya lengket di kepala.

"Ish ... apaan sih orang ini? ngomong kok nggak dipikir," runtuk Hafidz. Matanya tak lepas dari ponsel yang dipegang.

"Kenapa, Fidz? Kok dari tadi ngomel-ngomel sendiri?" ucapku seraya menutup mushaf yang sudah selesai kubaca.

"Ini lho, putri bapak presiden pertama kita, bikin pernyataan yang menyakiti kita sebagai orang islam." Hafidz menjelaskan.

"Pernyataan apa memangnya?"
Aku tidak terlalu mengikuti berita. Karena di jaman sekarang susah sekali membedakan berita yang benar atau yang hanya settingan belaka. Belum lagi berita hoax yang sering bikin sakit kepala.

"Katanya konde lebih indah dari cadar dan kidung lebih merdu dari suara adzan, apa ngga keblinger itu?" ucap Hafidz berapi-api. Hafidz lebih muda beberapa tahun dariku. Jiwa mudanya membuat semangat berdakwahnya begitu menggebu - gebu.

"Salahnya dimana,Fidz?" tanyaku ingin mengetahui pemikiran pria tinggi kurus itu.

"Ya jelas salah to, Mas. Itu namanya menghina syari'at Allah."

Aku berpikir sejenak. Mencoba mencari sudut pandang lain dari masalah yang ada.

"Gini, Fidz. Sebagian penduduk Indonesia ini muslim, bukan?"

"Tak perlu dipertanyakan lagi itu mah ..."

"Berapa persen muslimahnya yang bersedia memakai cadar, padahal itu katamu tadi itu syari'at?"

"Cuma sedikit sekali, Mas. Tapi bukan berarti konde lebih bagus dari cadar 'kan, Mas?"

"Kenyataannya memang demikian, mau gimana lagi? Kalau para muslimah mengerti dan memahami syari'at Allah, tentu kita tak akan melihat di Indonesia ini wanita yang memamerkan auratnya. Tapi nyatanya?"

Hafid terdiam.

"Begitu pula adzan, Fidz. Bisa kamu lihat, mana yang lebih banyak, yang menjawab panggilan adzan atau yang datang di acara dangdutan di kampung?"

"Tapi, Mas!"

"Pernyataan Ibu itu harusnya membuat kita merenung, seperti itulah kondisi masyarakat kita sekarang. Banyak yang mengaku islam tapi pada dasarnya tidak paham apa itu islam. Tugas kita mengajak mereka dengan cara yang ma'ruf. Mulai darimana? Ya dari diri sendiri, keluarga kecil kita, teman-teman kita atau kalau mampu mengajak masyarakat luas. Bukankah setiap muslim itu adalah da'i?"

Hafidz kembali terdiam. Mungkin sedang mencerna apa yang aku katakan.

"Marah-marah tidak akan menyelesaikan masalah, Fidz, hanya akan semakin menjauhkan mereka dari syar'at."

"Tapi bukankah Nabi juga marah kalau agama islam dihina, Mas?"

"Marah pada tempatnya, Fidz, pada jalur yang benar. Bukan dengan cara menghujat atau membully, karena itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Hanya akan membenarkan anggapan mereka tentang umat islam, bahwa kita ini anarkis, teroris dan entah apa lagi."

"Iya, Mas. Saya sedikit mengerti. Tapi sangat disayangkan kalimat seperti itu harus keluar dari putri seorang panutan bangsa."

Aku tersenyum.

"Kalimatnya itu betul, Fidz. Betul bagi mereka yang nggak paham syari'at. Anggap saja kita dan beliau ini sedang menuju arah yang berbeda, Fidz. Jadi peta yang digunakan pun berbeda."

Hafidz pun mengganguk.

Dari jauh terdengar suara adzan.

"Ah ... sudah isya. Ayo kita ke masjid."

Kami pun segera menuju masjid, memenuhi panggilan Rabb kami. Tak ada yang lebih merdu dari panggilan cinta ini, bagi yang meyakini. Untuk yang tidak menyakini kenapa harus dipaksakan. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu.

Minggu, 01 April 2018

Sisi Lain

"Mbak 'kok bisa sabar banget, sih?"

Mbak Hesti tersenyum, menatapku sejenak, kemudian kembali menatap layar komputer.

"Tuntutan, Des. Hidup Mbak, banyak likunya. Kalau nggak sabar, kelar, deh"

"Okelah, Mbak, kalau urusan yang lain ... lha ini berbagi suami, kok bisa?"

Wanita 35 tahun itu menghela napas.

"Kalau boleh memilih, Mbak pun pengen menjadi satu-satunya, Des. Mana ada perempuan mau dimadu. Tapi ini memang sudah jalan yang harus Mbak tempuh, mau gimana lagi?"

"Kok kesannya pasrah banget?"

"Siapa bilang saya pasrah? Saya hanya berusaha menerima takdir"

"Kadang, Mbak mensyukuri keaadaan ini, Des?"

"Mensyukuri bagaimana, Mbak?"

"Dengan Mas Hendra menikah lagi, ada wanita lain yang bisa bantu ngemong bocah berkumis itu"

"Aku jadi punya waktu buat mewujudkan impianku"

"Impian?"

"Seperti yang kau lihat sekarang, bisnis Mbak semakin berkembang. Beberapa cabang sudah mulai jalan juga. Dari situ Mbak bisa membangun rumah singgah untuk tunawisma dan menjadi ibu asuh untuk beberapa anak yatim."

"Aku nggak mungkin bisa melakukan itu, kalau ngga ada yang bantuin ngurus masmu. Kau tau sendiri kan rewelnya dia?"

"Mbak nggak cemburu? Nggak sakit hati? Dulu pas Mas Hendra melarat Mbak yang nemenin, giliran sekarang sukses eh malah nikah lagi"

"Sakit sih, awalnya ... tapi biarlah toh itu memang haknya dia."

"Kalau saya sudah minta cerai, Mbak. Nggak sanggup!"

"Des, kita nggak bisa mengontrol pikiran orang lain, suami atau bahkan anak yang lahir dari rahim kita. Yang bisa kita kontrol hati kita.