Sabtu, 27 Januari 2018

Nasib Petani #fiksi_2

Lagi-lagi aku menemui pasien yang sama. Keluhan tidak jelas dan saat ditanya apa ada yang masalah, jawaban rata-rata sama, tidak mengiyakan tetapi mata mereka tampak berkaca-kaca.

"Kenapa to Bu, apa ada masalah yang mengganggu pikiran?" tanyaku pada Bu Lastri, pasien yang cukup sering datang berobat ke praktikanku.

"Biasa Bu Dokter, harga bawang turun. Kalau turun saja nggak apa-apa, lha ini nggak ada pedagang yang datang. Padahal ada 2 ton bawang di rumah, mau dikemain?"ujarnya sambil menahan tangis.

Itu yang rata-rata menjadi keluhan mereka.

Oh iya, aku berpraktik di daerah pinggiran kota, yang rata-rata penduduknya adalah petani bawang. Bertani bawang itu cukup sulit dan perlu biaya perawatan yang besar.  Orang-orang sini bilang, merawat bawang itu seperti merawat anak, lengah sedikit tanaman akan rusak oleh hama. Ah,  tapi itu semua akan terbayar lunas jika saat panen,  harga bawang naik atau paling tidak, tidak turun seperti yg terjadi saat ini.

"Lha kenapa bisa turun drastis seperti ini Bu?", lanjutku.

"Itu Bu, di pasaran banyak beredar bawang import. Bawangnya lebih besar dan harganya lebih murah.. Terus nasib Kami ini gimana , Bu Dokter..?" ujarnya sambil tak kuat lagi membendung air mata.

Aku terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Karena, sejujurnya masih belum masuk di logikaku, kenapa daerahku yang notabenya adalah daerah penghasil bawang, harus mengimpor bawang dari luar negeri? Entahlah... Mungkin ada pertimbangan-pertimbangan khusus dari pemangku kebijakan yang tidak kumengerti.
Harapanku apapun itu, mudah-mudahan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas.

"Sabar ya Bu. Mudah-mudahan segera ada jalan keluar. Boleh dipikir tapi jangan terlalu, biar tidak mengganggu kondisi kesehatan Ibu". Klise. Tapi memang cuma itu yang bisa kuucapkan. Nggak ada yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar