Rabu, 31 Januari 2018

Dilema Ibu Bekerja (#fiksi_3)

"Mama di rumah saja nggak usah kerja..," rengek anakku yang saat ini berusia 3 tahun.

"Mama cuma sebentar kerjanya La, nanti kalau gajian mama beliin boneka deh..," bujukku.  Dengan muka lesu dia melepaskan tanganku.

Rengekan putri kecilku hampir-hampir jadi rutinitas pagi sebelum kerja. Sedih. Tak jarang air mata ini mengalir sepanjang jalan menuju ke kantor.
Ah.. Lila, andai kamu  mengerti, Mama pun sebenernya ingin sekali sepanjang hari menemanimu bermain. Tapi apa daya.

Aku single parent.Semenjak suami meninggal 2 tahun yang lalu aku kembali ke rumah orang tua. Nggak enak menumpang di rumah mertua sementara suami sudah nggak ada. Ayahku adalah seorang pensiunan guru SD. Uang pensiun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Sementara dua adikku masih sekolah dan membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Untuk tambahan biaya hidup beliau mengolah sepetak sawah yang hasilnya juga nggak seberapa. Melihat bapakku yang harusnya bersantai menikmati masa pensiunnya harus pontang-panting cari uang, aku nggak mungkin cuma berpangku tangan.

Setelah melamar kesana kemari alhamdulillah aku diterima disebuah sekolah swasta sebagai tenaga administrasi. Jam kerjanya cukup singkat sebenarnya. Sama dengan jam sekolah. Tapi bagi Lila mungkin itu terasa lama.

"Kenapa sih Mama harus kerja? Di rumah saja nemenin Lila, Ma," ucapnya suatu kali.

"Kan ada nenek, ada kakek yang nemenin Lila.Mama kerjanya juga cuma sebentar. Sore sudah pulang, bisa nemenin Lila lagi deh," jawabku singkat. Menjelaskan detailnya tentu hanya akan membuatnya bingung. Belum mengerti.

"Ma, nanti kalau Lila sudah besar Mama nggak usah kerja, biar Lila saja yang kerja... Lila mau cari uang yang banyak buat Mama," ucap polosnya.

Aku hanya bisa memeluknya sambil sekuat mungkin menahan air mata biar nggak jatuh. Terharu dan sedih. Andai ayahnya masih ada, aku nggak perlu bekerja, dan nggak perlu merasa sesesak ini. Hmm..Nggak boleh berandai-andai. Apapun yang digariskan-Nya untuk kami, pasti itu yang terbaik.

#hanya_fiksi

Senin, 29 Januari 2018

Istriku #fiksi_1

"Alhamdulillah, daganganya hari ini laris ya, Bang?", ucap istriku sambil mengusap peluhnya.

"Istirahat, Dik. Biar hilang dulu capeknya", ujarku saat melihat dia bersiap-siap mengambil pakaian kotor untuk dicuci.

"Nggak capek kok, Bang. Kalau sepi pembeli, baru rasanya sakit-sakit badan, sampai ke sini-sini", ucapnya sambil menepuk dadanya.

"Hahaha..." Aku terbahak mendengar candanya.

Itulah Mei, istriku, gadis manis yang kupersunting 15 tahun yang lalu. Sekarang sudah bukan gadis lagi tentu saja, tapi manisnya tetep sama, nggak berubah. Seorang pekerja keras, nggak suka berpangku tangan dan sedikit cerewet.
Nggak tega sebenarnya membiarkan dia ikut kerja keras banting tulang di pasar. Tapi dianya yang bersikeras untuk ikut jualan. Sepi katanya di rumah. Dua orang anak kami Hamid dan Khalid belajar dan tinggal di pesantren. Jadi tinggal kami berdua yang di rumah. Kalau salah satu bepergian, akan terasa banget sepinya.

Ah.. btw, aku harus segera menyusul istriku ke sumur untuk membantunya mencuci. Lima belas tahun berumah tangga, aku juga sudah hafal dengan sifatnya yang satu ini.

"Bang, bantuin dong..." , teriak istriku dari belakang.

"Iya.. iya sebentar, ini sedang jalan", jawabku sambil mempercepat langkah.

Dia pekerja keras, dan benci orang malas. Kalau sedang sibuk sementara dia lihat Abangnya ini duduk-duduk, dia akan ngambek 3 hari 3 malam. Kebayang kan kalau orang cerewet lagi ngambek? Hehehe...

Sabtu, 27 Januari 2018

Nasib Petani #fiksi_2

Lagi-lagi aku menemui pasien yang sama. Keluhan tidak jelas dan saat ditanya apa ada yang masalah, jawaban rata-rata sama, tidak mengiyakan tetapi mata mereka tampak berkaca-kaca.

"Kenapa to Bu, apa ada masalah yang mengganggu pikiran?" tanyaku pada Bu Lastri, pasien yang cukup sering datang berobat ke praktikanku.

"Biasa Bu Dokter, harga bawang turun. Kalau turun saja nggak apa-apa, lha ini nggak ada pedagang yang datang. Padahal ada 2 ton bawang di rumah, mau dikemain?"ujarnya sambil menahan tangis.

Itu yang rata-rata menjadi keluhan mereka.

Oh iya, aku berpraktik di daerah pinggiran kota, yang rata-rata penduduknya adalah petani bawang. Bertani bawang itu cukup sulit dan perlu biaya perawatan yang besar.  Orang-orang sini bilang, merawat bawang itu seperti merawat anak, lengah sedikit tanaman akan rusak oleh hama. Ah,  tapi itu semua akan terbayar lunas jika saat panen,  harga bawang naik atau paling tidak, tidak turun seperti yg terjadi saat ini.

"Lha kenapa bisa turun drastis seperti ini Bu?", lanjutku.

"Itu Bu, di pasaran banyak beredar bawang import. Bawangnya lebih besar dan harganya lebih murah.. Terus nasib Kami ini gimana , Bu Dokter..?" ujarnya sambil tak kuat lagi membendung air mata.

Aku terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Karena, sejujurnya masih belum masuk di logikaku, kenapa daerahku yang notabenya adalah daerah penghasil bawang, harus mengimpor bawang dari luar negeri? Entahlah... Mungkin ada pertimbangan-pertimbangan khusus dari pemangku kebijakan yang tidak kumengerti.
Harapanku apapun itu, mudah-mudahan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas.

"Sabar ya Bu. Mudah-mudahan segera ada jalan keluar. Boleh dipikir tapi jangan terlalu, biar tidak mengganggu kondisi kesehatan Ibu". Klise. Tapi memang cuma itu yang bisa kuucapkan. Nggak ada yang lain.